[Chaptered] Introvert Squad (3화)

sejungjaetae

“Introvert Squad” by Mingi Kumiko

 Taeyong, Jaehyun, and Sejeong  friendship, school life, romance  PG-13 

Note : cerita ini mengandung unsur bromance

“Itu sarkasme halus untuk mengatakan kalau kami seperti pasangan gay, ya?”

Previous Chapter

1 | 2

.

.

Atas saran dari Jaehyun—atau lebih tepatnya disebut desakan—akhirnya Taeyong memberanikan diri untuk menemui Sejeong dan merencanakan jadwal kencan.

Kalau dia menolak, paksa saja secara halus. Katakan kau tidak enak hati karena ia telah membayarmu dengan mahal.

Kalimat itu ia jadikan jurus ampuh guna memperkuat alibinya mengajak Sejeong berkencan tanpa perlu lagi memelihara rasa malu dan keragu-raguannya. Ia berencana menemui Sejeong di perpustakaan. Menurutnya itu tempat yang memungkinkan, dan… yah, setidaknya ada kemungkinan kalau beatiful target-nya itu bakal mengira Taeyong murid yang rajin karena suka mengunjungi perpustakaan.

First impression itu, kan, penting!

Gadis itu ada di bangku dekat deretan rak buku pengetahuan teknik mekanik yang tersusun rapi. Ia duduk manis dan sekedar menyilangkan tangan di depan dada. Taeyong menarik napas dalam-dalam untuk meredam kegugupannya dan melangkah mantap menghampiri Sejeong.

“Sudah lama menunggu, ya?” Taeyong membuka pertemuan mereka dengan pertanyaan klasik yang sering terdengar di drama-drama televisi.

“Tidak, kok.” jawab Sejeong dengan ekspresi yang tak bisa dikatakan ramah, namun dikatakan dingin pun tidak. Taeyong lantas menarik sebuah kursi yang ada di sebelah Sejeong untuk ia duduki.

“Apa kau suka membaca buku?” tanya Taeyong.

“Aku membuka buku untuk mencari jawaban dari soal-soal yang diberikan oleh para guru, kekeke. Bisa dibilang aku ini sedikit malas.” jelas gadis itu disertai lengkungan kecil di kedua sudut bibirnya. Ia menjawab sambil tersenyum, dan hal itu mampu membuat kupu-kupu dalam perut Taeyong mendapatkan semangat untuk kembali terbang.

“Kalau kau, suka membaca atau tidak?”

Tak hanya menjawab pertanyaannya dengan senyum, namun Sejeong juga balik menanyai Taeyong dengan pertanyaan yang sama. Sepele memang, tapi bagi Taeyong itu sangat menggembirakan.

“Aku selalu mengunjungi perpustakaan di akhir pekan untuk meminjam buku.”

“Buku apa yang sering kau baca?”

“Apapun yang tak banyak dibaca orang. Aku ingin mengetahui hal-hal yang tak orang lain ketahui.” tandas Taeyong yang langsung dibalas oleh anggukan singkat oleh Sejeong. Nampaknya penjelasan itu tak cukup menarik perhatian Sejeong hingga ia hanya merespon dengan cara yang amat sederhana.

“Termasuk mengetahui cara yang tepat untuk mengajakmu berkencan.”

BINGO!

Semburat merah yang merekah di pipi Sejeong menandakan ia berhasil dibuat tersipu oleh rayuan gombalnya.

“Aku suka caramu bercanda, tapi maaf, ya, aku ini bukan orang yang mudah terbawa perasaan.” Sejeong berusaha menutupi salah tingkahnya dengan bersikap tenang. Taeyong hanya balas terkekeh sambil menunduk.

“Mau kencan denganku malam ini?” tanya Taeyong secara tiba-tiba, Sejeong pun sontak tertoleh dan tak sengaja menatap wajah Taeyong yang berjarak cukup dekat dengan wajahnya sendiri.

Hening.

Sejeong seakan terjebak dalam tatapan mematikan yang dipancarkan pria bersurai kecoklatan itu. Hingga akhirnya Taeyong memiringkan kepalanya dan membuat Sejeong refleks menunduk.

“Karena kontes Noyeting itu? Lupakan saja. Aku enggak mau kau mengajakku kencan karena ada paksaan.” kata Sejeong.

“Tidak, kok! Aku benar-benar ingin mengajakmu—ah, tidak, tidak. Anggap saja kita keluar untuk mengunjungi suatu tempat yang menyenangkan, bagaimana?”

Seketika itu juga sekelebat rasa sesal menyelimuti perasaan Taeyong. Memikirkan usaha Jaehyun yang sudah susah payah membuat alibi, namun reaksi Sejeong malah meleset dari dugaan. Tapi apa boleh bulat, memang begitulah adanya.

“Boleh, kita bertemu di halte dekat sanggar tari Tsukuyomi jam tujuh, oke?”

***

Jaehyun tak dapat memahami tentang dirinya sendiri yang begitu bergantung pada eksistensi seorang Lee Taeyong dalam kehidupannya. Sejak kecil ia terbiasa menghabiskan waktu seorang diri karena orang tuanya yang sibuk. Tak apa bagi Jaehyun apabila orang lain berpikir ia kekurangan perhatian atau kasih sayang.

Ia menyikapi itu semua secara dewasa di usianya yang masih terbilang cukup muda. Toh, meskipun jarang bertemu, orang tuanya bekerja mati-matian demi meraup uang guna membiayai masa depan anak semata wayangnya tersebut. Jaehyun yakin kedua orang tuanya menyayanginya, meskipun cara yang yang ditunjukkan mereka berbeda dengan orang tua yang teman-temannya miliki.

Hingga suatu hari seorang anak kecil yang tak kalah polos dengannya datang menghampiri dirinya yang duduk terdiam di pinggiran taman sekitar sepuluh tahun yang lalu. Anak itu menyapanya dan mengajaknya bicara, kemudian menyodorkan sepotong roti untuk mereka makan bersama.

“Mereka bilang aku enggak seru untuk diajak bermain dan akhirnya meninggalkan aku sendirian. Tapi aku sama sekali enggak suka sendirian.” tukas Taeyong kecil dengan kunyahan roti gandum yang masih memenuhi mulutnya.

“Di rumah maupun di sekolah, aku selalu sendirian.” balas Jaehyun.

“Memangnya kau tahan? Cobalah mencari teman, pasti akan lebih menyenangkan.” Taeyong menyengkeram pundak anak sepantaran yang barusan ia temui itu. Si pemilik pundak pun memutar kepala untuk menatapnya.

“Bagaimana kalau kau saja yang jadi temanku?” tanyanya ringan.

“Tentu saja! Mulai sekarang kita teman. Bangapta, chingu-ya!” tandas Taeyong mantap diiringi dengan senyuman lebar dan menunjukkan deretan gigi putihnya.

 

Ponselnya tiba-tiba berdering panjang, menandakan ada panggilan masuk. Segera ia raih benda lebar nan pipih itu dan menggeser tombol warna hijau ke kanan.

“Halo… wah, jadi benar-benar akan kencan hari ini? Selamat, ya! Kenapa juga kau harus tanyakan hal itu, kau akan tetap terlihat tampan meskipun berbalut karung sobek-sobek sekalipun. Ayolah, aku tak sedang menggombal, aku benar-benar mengakui ketampananmu. Sudahlah, pakai saja baju warna cerah, dan… jangan lupa gunakan pakaian tebal, cuaca sedang sangat dingin, kau tahu? Baiklah, aku tutup, ya, panggilannya… Eits, tunggu! Jangan gunakan terlalu banyak skinship di kencan pertamamu. Gadis akan jadi cepat ilfeel. Oke, sama-sama. Selamat berjuang, fighting, uri Taeyongie!”

Jaehyun menjauhkan ponsel dari jangkauan telinganya setelah bicara panjang lebar dengan si penelepon yang tak lain dan tak bukan adalah Taeyong. Benar dugaannya kalau sahabatnya yang kikuk dalam urusan cinta itu bakal kebingungan dengan persiapannya berkencan. Ngomong-ngomong masalah cinta, sebenarnya hal itu juga masih asing untuk Jaehyun. Berbeda dengan Taeyong yang mulai merasakan indahnya sebuah cinta pertama, dirinya malah belum sama sekali menemukan definisi yang tepat untuk menggambarkan istilah bodoh dari planet terasing yang pernah ada itu.

***

Malam ini, meskipun salju tak turun, angin berembus dengan suhu yang seakan siap membekukan kulit apabila tubuh tak dilapisi dengan pakaian tebal. Taeyong telah sampai di halte, tempat janjiannya dengan Sejeong, sejak lima belas menit yang lalu. Tangannya terlipat rapi pada hoodie yang tersembunyi di balik mantel tebal yang ia kenakan.

“Taeyong,” sebuah suara yang lembut menyapa rungu, ia pun berbalik untuk menghadap si empunya suara. Kemudian didapatilah sesosok gadis berambut lurus sebahu yang sedari tadi telah ia tunggu.

“Sudah lama menunggu, ya?” tanya Sejeong. Bukannya menjawab, Taeyong malah tetap hening dan terpaku dengan outfit yang dikenakan oleh gadis itu. Entah mengapa meskipun warna baju atasan dan bawahan yang Sejeong kenakan tidak senada dan terkesan tabrak warna, namun bagi Taeyong itu malah terlihat lucu dan menarik. Kadang efek sebuah perasaan empati memang sedahsyat itu. Tak peduli bagaimana pun ia terlihat, bahkan meskipun kekurangannya sengaja ditonjolkan, di mata sang pemuja, celah itu akan terlihat sebagai sebuah kesempurnaan.

“Taeyong?” Sejeong kembali memanggil namanya karena sedari tadi pria di sampingnya itu hanya memasang ekspresi terlongo yang aneh.

“Ah, neannyeong! Hari ini dingin, ya?” balasnya dengan kikuk. Taeyong ingin mengatakan kalau Sejeong sangat cantik saat mengenakan busana itu, Taeyong juga ingin memuji riasan Sejeong, yang meskipun terlihat natural, namun malah membuat kecantikannya memancar ratusan kali lipat.

Namun sayang kalimat itu hanya mampu tertahan di kerongkongan tanpa sanggup ia utarakan. Ini adalah kencan pertamanya dan ia tak boleh bertindak terlalu agresif. Selain itu, mengobral habis pujian dan gombalan nampaknya bukanlah pilihan yang harus ia lakukan. Para gadis pasti akan cepat muak dengan pria pengumbar rayuan.

“Hei, aku baru menyadarinya… itu mantelku, ‘kan?” seru Taeyong saat kesadarannya telah sepenuhnya pulih setelah bergelut dengan lamunan yang cukup lama.

“Iya, habis udaranya dingin sekali dan aku tidak sempat membeli mantel baru. Ah, sial! Siapa, sih, yang berani mencuri mantelku?”

“Hehehe, kau bisa memakainya kapanpun kau mau, kok! Kebetulan aku punya beberapa koleksi mantel.”

“Tidak, bukannya begitu… nanti sepulang dari jalan-jalan akan aku kembalikan. Jadi bisa tolong antar aku sampai rumah dulu?”

“Oke, kita pikirkan itu nanti. Jadi, mau ke mana kita sekarang?” Sejeong dibuat terbelalak dengan pertanyaan yang Taeyong ajukan. “Jadi kita enggak punya tujuan, nih?”

“Oh, bukannya begitu…, maksudku, aku hanya ingin tanya pendapatmu, kita sebaiknya jalan-jalan ke mana? Apa ada tempat yang ingin kau kunjungi?”

“Ada, sih… tapi apa enggak apa-apa kalau kita ke sana?”

“Memangnya mau ke mana?”

“Aku cuma mau makan cheese cake dan minum coklat panas. Ah, tapi rasanya enggak seru kalau kita keluar cuma untuk sekadar makan. Kalau kau, ada rekomendasi tempat untuk dikunjungi, tidak?”

“Bagaimana kalau pergi ke museum salju dan membuat snowman? Sedikit kekanakan, sih… tapi sepertinya seru.”

“Setuju! kita ke museum dulu, setelah itu kita makan, oke?”

.

.

Taeyong tidak seberapa menyukai salju, tapi entah kenapa keinginan untuk mengunjungi museum salju secara spontan terlintas di pikirannya. Seketika ia teringat beberapa waktu yang lalu Jaehyun sempat mengajaknya pergi ke museum salju dan Taeyong bilang akan pergi ke sana bersamanya lain kali karena waktu itu jadwal materi sedang padat dan ada banyak sekali tugas. Mengingat hal itu, sekelebat rasa bersalah pun seketika menghinggapi pikirannya. Ia menyuguhi Jaehyun setumpuk alasan untuk menunda pergi, namun di sisi lain ia malah mengajak Sejeong pergi ke tempat itu. Sungguh licik. Well, mungkin besok Taeyong harus bilang pada Jaehyun—si penyuka salju—untuk pergi bersamanya ke event tahunan itu sesegera mungkin.

“Apa kau menyukai salju?” celetuk Taeyong pada gadis yang tengah asyik memperhatikan bongkahan kristal yang dibentuk menyerupai angsa yang cantik.

“Apapun yang berwarna putih aku suka.” jawabnya tanpa menarik sebelah pun otot matanya pada si empunya pertanyaan.

“Ah, jadi pilihan yang tepat, ya, mengajakmu ke mari?”

“Tentu! Terima kasih…, aku menyukai tempat ini.” ucap Sejeong yang langsung membentuk selengkungan senyum di bibir tipis Taeyong tanpa ia ketahui.

Seusai menghabiskan banyak waktu di museum salju, Sejeong pun bilang pada Taeyong kalau ia mulai kehabisan tenaga dan tubuhnya harus cepat-cepat mendapat asupan nutrisi dalam bentuk cair maupun padat. Akhirnya mereka keluar dari museum salju dan pergi ke cafe terdekat yang menjual cheese cake dan coklat panas sesuai dengan yang mereka rencanakan sebelumnya.

Setelah berjalan selama kurang lebih lima belas menit, akhirnya mereka sampai di sebuah kafe berkonsep urban yang menjual berbagai jenis kue dan kopi. Mereka pun memasuki cafe itu dan memilih tempat duduk yang berada di dekat jendela agar dapat melihat kendaraan berlalu-lalang di kawasan ibu kota.

Tak lama kemudian pelayan kafe pun membawa nampan yang berisi pesanan mereka dan meletakkannya di atas meja.

“Kau menyukai kopi, ya, Tae?” tanya Sejeong saat melihat asap dari kopi latte yang mengepul di samping sepotong black forest pesanan pria di hadapannya itu.

Eung… hanya meminumnya saat ingin,”

“Oh, begitu…” Sejeong merespons dengan anggukan singkat.

“Biar kutebak, kau menyukai cheese cake karena kue itu dilapisi krim warna putih, bukan begitu?” celetuk Taeyong.

“Apa aku semudah itu ditebak?”

“Mungkin aku saja yang terlalu mudah membaca seseorang, kekeke…”

“Tidak hanya krim putihnya yang cantik, tapi rasanya juga gurih, aku menyukai keju.” ucap Sejeong.

“Jaehyun juga menyukai keju.”

Ucapan Taeyong mengenai Jaehyun barusan langsung membuat gadis itu tertegun. Betapa melankolisnya sepasang sahabat ini, bahkan saat ia sedang bersama orang lain, pikiran tentang Jaehyun masih tak bisa ia hindari dan membawa-bawa nama itu ke dalam obrolan mereka.

“Jujur saja, deh, Tae… kau pacaran, ya, sama Jaehyun?” tanya Sejeong penuh selidik. Habis mau bagaimana lagi, ia terlanjur gemas dengan kedekatan Taeyong dan Jaehyun yang bak sepasang kekasih.

Beberapa mililiter kopi latte yang baru saja ia teguk pun hampir memasuki tenggorokan Taeyong dan membuatnya tersedak. Pertanyaan yang Sejeong ajukan barusan cukup dapat membuatnya terkejut dan terbatuk-batuk.

Omo, gwaenchanayo?” panik Sejeong saat menyadari kondisi Taeyong yang sepertinya kesulitan bernapas. Ia pun segera menghampiri Taeyong untuk menepuk-nepuk pundaknya agar ia tak tersedak lagi.

“Aduh, maaf sekali, ya… karena aku kau jadi tersedak.” ucap Sejeong penuh sesal setelah sekiranya Taeyong tak lagi terbatuk-batuk.

“Aku cuma bercanda tadi, serius, deh!” timpalnya lagi.

“Aku sudah baik-baik saja,” kata Taeyong. Setelah mendengar ujaran itu Sejeong pun kembali ke kursinya.

“Apa kau marah?” tanya Sejeong ragu.

“Tidak, kok. Aku ingin menceritakannya, namun sepertinya ini bukan waktu yang tepat.”

“Tidak tepat bagaimana maksudmu?” Sejeong memicingkan mata karena tak paham dengan ucapan Taeyong barusan.

“Masa iya aku harus menceritakannya saat kita baru saja kenal, maksudku begini, aku hanya takut kau keberatan kalau aku mendadak cerita tentang persahabatanku dengan Jaehyun padamu.” Taeyong sedikit kesulitan menata kalimatnya untuk disampaikan pada gadis di hadapannya itu.

“Ya ampun, enggak masalah kalau kau mau ceritakan tentang itu sekarang…, aku ini pendengar yang baik, lo! Aku juga penasaran dengan awal mula kalian sampai bisa jadi sedekat itu. Jarang, kan, ada sesama pria yang bersahabat hingga sebegitunya.”

“Itu sarkasme halus untuk mengatakan kalau kami seperti pasangan gay, bukan?”

“Maaf, aku tak bermaksud seperti itu.” kini giliran Sejeong yang kebingungan harus bicara apa.

Taeyong meletakkan garpu yang sedari tadi ia genggam lantas menyingkap kedua tangannya di atas meja. Wajah cerahnya seketika berubah menjadi tanpa ekspresi kala ia hendak memulai suatu ujaran serius.

“Jaehyun itu teman pertama yang bisa betah dengan sifatku.”

“Sifatmu yang seperti apa? Menurutku kau baik-baik saja.” sahut Sejeong. Ia kemudian menopang dagunya dan jadi makin dalam menyimak apa yang hendak Taeyong katakan.

“Waktu kecil, aku tidak punya teman. Orang-orang menjauhiku karena aku terlalu pendiam dan tak banyak menguasai hal-hal seperti olahraga atau permainan. Tapi sejujurnya aku paling benci sendirian. Suatu hari aku bertemu dengan Jaehyun yang juga sedang sendirian di sebuah taman, aku mulai menyapanya dan mengajaknya berteman. Dan hingga saat ini kami jadi sangat dekat. Aku tidak tahu akan seperti apa jadinya kalau tidak ada teman seperti Jaehyun di sampingku.

“Meskipun awalnya ia terbiasa sendirian, tapi ia selalu bersamaku dan tak pernah meninggalkanku. Jaehyun juga tak pernah menuntutku untuk bisa menguasai suatu hal. Kami memang berkebalikan, dia adalah anak yang bisa mempelajari segala hal dengan mudah, sedangkan aku tak memiliki keterampilan apapun. Tapi tidak masalah, karena Jaehyun akan selalu ada waktu untuk mengajariku saat aku tertarik dengan sesuatu.” Sejeong menepuk-nepuk pelan tangannya setelah Taeyong merampungkan ujarannya.

Cerita yang barusan ia dengar benar-benar menyentuh dan membuatnya takjub. Pasti sosok Jaehyun sangat berharga untuk Taeyong, begitu pula sebaliknya. Tapi ada sebuah pertanyaan terlintas di dalam benaknya kala ia menyimak penjelasan panjang Taeyong.

“Memangnya kau enggak pernah punya pacar, yah…, atau setidaknya seseorang yang bisa membuatmu tertarik hingga membuatmu dekat, begitu? Frankly speaking, kau punya wajah yang sangat tampan. Harusnya kau punya beberapa gadis yang pernah kau pacari.” celoteh Sejeong secara terang-terangan seraya mengaduk-aduk segelas coklat panas yang tergeletak di hadapannya.

“Tidak ada yang seperti itu sepanjang aku hidup.” tandasnya.

Well, itu memang masalah prinsip tiap individu. Tapi menurutku enggak buruk, kok, kalau kau benar-benar menjaga persahabatanmu dengan Jaehyun. Kalau itu bisa membuatmu jadi orang yang lebih baik, kenapa tidak? Kalau aku boleh saran, sih, mending kau sedikit membuka dirimu. Toh, sekarang kau memiliki aku sebagai teman.” ujar Sejeong yang langsung dibalas dengan seulas senyuman simpul oleh Taeyong.

Omo! Aku bicara apa, sih? Maaf, maaf. Nampaknya aku terlalu lapar sampai bicara melantur begini.” decak Sejeong yang membuat kegaduhan sendiri di sela acara mereka menikmati sepotong kue hingga membuat Taeyong terkekeh kecil.

“Selamat makan…” ucap Taeyong.

.

.

Tanpa terasa waktu berlalu cepat. Dengan berat hati kesenangan yang mereka rasakan saat tengah berjalan-jalan barusan harus segera diakhiri. Taeyong berhasil mengantarkan Sejeong sampai di depan rumah dengan selamat tanpa kurang suatu apapun. Bayangkan saja, ia keluar bersama anak gadis orang, jadi ia mengemban tanggung jawab besar untuk menjaganya di sepanjang perjalanan.

“Kau tak mau mampir, Tae?” tawar Sejeong.

Hm, apa boleh? Aku cuma mau memberi salam pada kedua orangtuamu, setelah itu langsung pulang. Sudah terlalu malam, takutnya petugas keamanan menutup portal di komplek.” balas Taeyong yang langsung ditanggapi dengan anggukan antusias dari Sejeong.

Saat memasuki rumah, Sejeong dan Taeyong segera disambut oleh penjaga rumah—ayah dan ibunya—yang telah lama menunggu kepulangan anaknya.

Eomma, appa…, kenalkan, ini temanku namanya Taeyong.” ucap Sejeong tatkala mendapati kedua orang tuanya telah berada di ruang depan untuk menyambut kedatangan anaknya.

Annyeong haseyo, maaf karena telah mengajak anak paman dan bibi keluar sampai malam begini.” ucap Taeyong sambil membungkuk dalam-dalam. Kardiotoraksnya berdentam tak karuan dan kakinya terus bergetar karena tak sanggup menahan kegugupan.

“Tidak masalah, sekarang masih jam sembilan. Sejeong memang harus keluar untuk jalan-jalan sesekali. Kadang aku kasian karena ia terus menghabiskan sabtu malamnya dengan latihan menari.” kata Tuan Kim dengan penuh wibawa di setiap kalimat yang ia tuturkan. Seketika itu juga Taeyong langsung mengembus napas lega. Syukurlah kalau ayahnya Sejeong begitu terbuka padanya.

“Ayo duduk dulu, nak…” ajak ibunya yang langsung dibalas dengan tolakan halus oleh Taeyong.

“Maaf, bi… aku sangat ingin mampir, namun aku harus segera pulang.”

Yah, sayang sekali. Baiklah kalau begitu, terima kasih, ya… sudah mengajak Sejeong berjalan-jalan. Mampirlah lain kali.” kata Nyonya Kim. Sekali lagi Taeyong dibuat mengembuskan napas. Fyuh, nampaknya Tuhan benar-benar melancarkan rencana Taeyong untuk mendekati Sejeong. Bahkan perlahan, kini dirinya telah berhasil mencuri simpati ayah dan ibu gadis itu.

“Baiklah, paman, bibi… aku pulang dulu. Selamat malam, semoga kalian diselimuti kehangatan meski cuaca sedang dingin.” pamit Taeyong tanpa lupa menyunggingkan senyum dan membungkuk pada para pemilik rumah.

Nyonya Kim menutup pintu saat punggung pria jangkung itu perlahan menghilang dari pandangannya. Beliau pun lantas berjalan menuju dapur dan menyiapkan lauk untuk Sejeong yang belum makan malam.

“Selain tampan, dia juga sopan, ya?” celetuk Nyonya Kim seraya mencidukkan semangkuk nasi untuk Sejeong.

“Aku juga kaget dengan kepribadiannya yang sangat baik.” timpal si anak.

“Apa dia memegang tanganmu?” tanya Nyonya Kim.

“Menyentuhku pun tidak, Bu. Sepertinya dia benar-benar menghormari perempuan. Padahal awalnya kupikir dia cuma seorang playboy yang suka mengumbar rayuan, tapi ternyata tidak sama sekali. Ia sangat kikuk dan lucu.” ungkap Sejeong dengan penuh semangat saat dirinya harus kembali mengingat peristiwa yang baru beberapa jam yang lalu terjadi.

.

.

Taeyong akhirnya sampai di rumahnya setelah menyusuri kawasan Hwigyeongdong dengan langkah yang lebar. Untungnya portal di komplek perumahannya belum ditutup, jadi ia tak perlu mengunjungi pos penjaga untuk meminta bantuan. Saat membuka pintu, betapa terkejutnya ia tatkala mendapati sesosok pria berbalut kardigan krem tengah duduk dengan kakunya di sofa ruang tamu.

“Jaehyunie…, sejak kapan kau ada di sini?” tegurnya. Si empunya nama pun lantas memutar kepala untuk menghadap si penanya.

“Baru sekitar sepuluh menit yang lalu.” jawab Jaehyun. Ia kemudian berdiri dan berjalan menghampiri Taeyong.

“Oi, ceritakan kencan pertamamu dengan Sejeong, dong!” desaknya sambil menyenggol lengan Taeyong.

“Terlalu panjang kalau aku menceritakannya dari awal. Dan aku sedikit lelah karena terus berjalan kaki. Bagaimana kalau kuceritakan besok saja?” tolak Taeyong secara halus. Ia pun meminta sedikit pengertian Jaehyun untuk memberinya waktu istirahat.

“Kau bisa menginap malam ini.” kata Taeyong pada Jaehyun, namun dibalas gelengan.

“Tidak usah, aku bisa langsung pulang, hehehe.” kata Jaehyun.

“Bukannya malah akan memakan waktu kalau kau harus berjalan ke halte, kemudian menunggu bis? Ini sudah malam.”

“Hei, kenapa kau jadi memperlakukan aku seperti seorang gadis kecil? Menjijikkan! Aku laki-laki yang tampan dan berani, asal kau tahu.” Jaehyun malah melawak.

“Kalau begitu pulanglah dengan mengendarai scooter-ku. Setidaknya kau bisa sampai rumah lebih cepat.”

“Sudahlah… nikmati saja istirahatmu, tidak usah memikirkan aku.”

“Tapi, Jae—”

“Aku ke dapur dulu untuk pamitan pada ibumu, ya? Jalja!” Jaehyun dengan cepat berlalu tanpa menghiraukan Taeyong yang terus berusaha mencegahnya pergi. Wajah lapang yang Jaehyun tunjukkan seolah menyiratkan kekecewaan yang dalam dan sungguh itu membuat hati Taeyong bagai tersayat sembiri.

Kenapa pula tadi ia harus beralasan lelah dan menunda menceritakan kencan pertamanya dengan Sejeong sedangkan kondisinya masih memungkinkan untuk bercerita? Taeyong merasa dirinya terlalu memikirkan diri sendiri dan sama sekali tak menghargai usaha Jaehyun yang bela-belakan datang ke rumahnya hanya untuk mendapatkan kabar darinya.

~ TBC ~

Akhirnya bisa update lagi, huhuhu senangnya ^^
Makasih ya buat yang udah mau baca sampai abis, maaf juga kalau ceritanya makin ngelantur huhuhu
Jangan lupa tinggalkan jejak 🙂

26 thoughts on “[Chaptered] Introvert Squad (3화)

  1. YA AMPUNMM MBA LEL,
    Ini kenapa mas Jae jadi cerewet, pas teleponan ama Taeyong itu. Ucul dehh..
    Tapi kok aku kasian ama Jae? Taeyong mah tega an. Ngga ngehargai perjuangan Jaehyun. SENEHH BANG, SENEHH, AKU GEBUK PAKE GEBUK KASUR SENEHHH. DD NGGA TEGA MAS JAE DIBEGITUIN. NGGA IKHLAS. Dia kek Telerlantar gitu.
    , nextnya semoga ada part yang ucul ucul lagi ya mba.. 😚 luv luv mba, keep writing 😘.

    Liked by 1 person

    • Taeyong lelah habis kencan dan mohon pengertian Jae hahaha
      ya gitu kan emang temen kebanyakan, pas seneng aja lupa sama kita :” /kok lu baper sih lel
      makasih diff sudah mampir ^^ tunggu next chapter yaaaa 🙂

      Liked by 1 person

  2. Iya ya, kok kesannya Sejeong yang nikung wkwkwk Ntar Taeyong malah jadi rebutan >< Jaeyong abisnya bikin baper sih, Sejeong kan tak kuasa '-' Chaeyeon mana inihh? Cepetan masukin Chaeyeon kak, sebelum aku menggelinding UwU

    Liked by 1 person

  3. Huuu mian baru ngikutin lagi
    Iiish jaeyong aku lemaaah
    Bromancenya makin kental tapi taejeongnya juga manis poll gimana dong aku bingung mau masuk tram jaeyong apa taejeong
    Ditunggu chap selanjutnya, keep writing!

    Liked by 1 person

  4. Huwaaaaaaaaaa kak Lely huwaaa kenapa aku baper sama chapter ini? Huwaaaaaa aku baper sama Taeyong yang kikuk hihihi. Secara muka & style Tae kan garang, jadinya kadang masih agak sulit kalo bayangin dia jadi rada introvert kayak gitu HAHA. Apalagi pas tau kalo dia kaku & gampang baper HAHA, padahal aku pernah liat dia di Weekly Idol tampangnya serius mulu & keliatan agak playboy 😀 😀 😀 😀 😀 😀 *disambit taeyong*

    Oh iya, aku nyesek pas tau Jaehyun mampir ke rumah Tae buat nungguin kabar, eh si Tae malah nolak mau cerita. Trus habis itu si Jaehyun mau langsung pulang aja. Nyesek kan? Udah dibela-belain datang. Kurang baik apa sih suamiku? *dibakar Jaehyun*

    Btw, entah kenapa aku merasa kalo si Sejeong ini lama-lama ada rasa sama Jaehyun, bukannya sama Tae? Iya gak sih? Aduh, aku gak dukung kalo Sejeong sama Jaehyun soalnya Jaehyun punyaku! *ditendang anak-anak NCT*

    Dan lagi-lagi aku terenyuh sama persahabatan mereka. Aku pernah baca artikel, Korea itu memang Negara yang menjunjung tinggi persahabatan. Entah cowok atau cewek, mereka nggak malu nunjukkin kedekatan mereka ke publik. Duh, bayangin Jaehyun yang imut-imut manis gitu gak punya teman trus si Tae datang menawarkan tali persahabatan…. Duh, aku gak bisa ngomong apa-apa lagi :”

    Dan kayaknya segini dulu aja komennya HAHA. Apaan coba isinya spam, ngelantur semua HAHA maafkan aku kak Lely :v Tapi sumpah, aku suka sama ff ini uhuy…! Secara kalo friendship itu lebih ngena, iya gak sih 😀 Apalagi yang jadi bias2 aku huwaaaaa…..

    Semangat ya kak Lely & Love you ❤

    Tunggu aku di chapter berikutnya  *kabur sama Jaehyun*

    Like

    • anti mainstream dong, bikin taeyong bego di ff ini hahaha. tau sih dikebanyakin ff dia emang selalu jadi yg garang, strong, sering jadi pencabut nyawa, malaikat hitam, yah pokoknya yang gitu2 deh XD
      iya kah? wah, makasih lo infonya.. aku baru tau. Mangkannya kok di sana cowo pelukan, cewe pegangan tangan kaya biasa. Padahal kalo di Indo pasti dikira belok :’v
      makasih yaaa udah suka ffku ❤ makasih banyak pokoknya {} duh aku seneng banget dikomen sama kamu ~~

      Like

  5. Pas taeyong nanya ‘mau kemana kita sekarang?’ yg kebayang justru dora.. Gyehehe :v aku seneng banget ama tokohnya. Natural banget jalan ceritanya ama kisah anak sekolahan ❤

    Like

Feedback Juseyo ^^