[NCTFFI Freelance] Troublemakers (Chapter 3)

poster 1

TROUBLEMAKERS

Chaptered FF
Author : Cute_Noona
Casts : NCT Taeyong – NCT Doyoung – NCT Ten – NCT Jaehyun
Rating : PG-14
Genre : School life – Friendship

Happy reading~

===========================

*

*

*

Suara derap derap kaki membangunkan Jaehyun yang sejak semalam tak sadarkan diri. Tak hanya sepasang, tapi beberapa pasang kaki. Dan itu sudah cukup membuat telinga Jaehyun terasa sakit. Dengan usaha yang sedikit keras, ia berhasil membuka matanya. Namun, yang bisa ia lihat hanyalah pemandangan kabur dan tidak jelas, seolah ada embun yang menghalangi matanya. Tidak hanya itu saja, ia baru sadar kalau ada rasa sakit yang cukup menyiksa yang menyerang wajahnya.

Entahlah.

Jaehyun masih berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi padanya. Satu-satunya hal yang ia ingat adalah ia sedang dihajar oleh para preman yang pernah mencari gara-gara dengannya beberapa waktu lalu dan tak lama kemudian dua orang teman sekolahnya tiba-tiba muncul entah dan….

Tunggu sebentar.

Sayup-sayup, ia mendengar suara-suara yang cukup familiar di telinganya. Ada dua orang yang tengah berbincang-bincang di dekatnya. Dan juga, suara derap kaki seperti orang yang berlari ke sana kemari masih terdengar.

“Hei, kau sudah bangun, Jaehyun.”

Seseorang berkata padanya. Dengan susah payah ia mencoba melihat orang tersebut yang menempatkan kepalanya tepat di atas wajahnya. Butuh beberapa detik bagi Jaehyun untuk menghilangkan embun aneh di pandangannya hingga akhirnya ia bisa melihat dengan jelas siapa yang tengah mengamatinya dari atas sana.

Orang itu. Anak laki-laki berambut hitam itu. Dengan sepasang mata hitamnya. Dengan wajah polos yang cukup menyebalkan bagi Jaehyun. Anak laki-laki yang tiap kali berbicara selalu menggunakan logat aneh.

“Doyoung-ssi, Jaehyun sudah bangun!” Wajah Ten tampak antusias melihat Jaehyun membuka mata. Bahkan saking antusiasnya, ia hampir menubrukkan tangannya pada bahu Jaehyun yang menyebabkan pemuda berambut gelap tersebut mengerang pelan.

“Benarkah?” Kini Doyoung pun ikut memandang Jaehyun dari atas wajah Jaehyun. “…Jaehyun-ah, sudah merasa baikan sekarang? Kau benar-benar tidak sadarkan diri sejak semalam? Kukira kau sudah mati atau semacam itu semalaman.”

Sial. Ingin rasanya Jaehyun berteriak pada mereka berdua agar segera menyingkirkan kepala mereka dari atas wajahnya. Bukannya apa-apa, ia merasa tidak bisa bernapas bila dikerumuni seperti ini meski hanya dua orang. Tapi tubuhnya terasa sakit semua hingga pada poin di mana ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya.

“Kau mau mengatakan sesuatu?” tanya Ten yang menyadari bibir Jaehyun bergerak pelan.

“Singkirkan kepala kalian,” ujar Jaehyun sedikit terbata-bata.

Dengan cepat, Doyoung segera menjauhkan diri dan mendorong Ten agar melakukan hal yang sama. Ia tahu apa yang akan terjadi bila mereka berdua tidak segera menuruti apa kata Jaehyun. Bahkan ketika pemuda berlesung pipit tersebut berusaha bangun, mereka berdua juga hanya diam di tempatnya.

Sebenarnya Jaehyun masih ingin melampiaskan kekesalannya pada mereka berdua, tapi karena perhatiannya teralihkan pada ruangan yang tampak asing baginya, akhirnya ia melupakan mereka berdua.

“Di mana aku?” tanya Jaehyun, tangannya menyentuh sudut bibir dan tulang pipinya yang berkedut nyeri. Tampaknya ia mendapat pukulan yang cukup keras di bagian wajahnya.

Belum sempat salah satu dari Ten dan Doyoung menjawab, pintu geser kamar tersebut terbuka dan sosok Taeyong muncul dari balik pintu geser tersebut sambil membawa atasan dan bawahan seragam sekolah yang tampaknya baru saja kering.

“Baguslah kau sudah bangun. Ini, seragammu sudah kucuci semalam, dan untungnya tadi pagi buta sudah kering jadi bisa kau pakai untuk hari ini,” ujar Taeyong dengan tenang sambil melempar setelan seragam tersebut ke pangkuan Jaehyun. Ia sendiri sudah mengenakan seragam sekolahnya, sama seperti Ten dan Doyoung.

“Apa tidak apa-apa dia masuk sekolah hari ini? Kondisinya…”

“Dia akan baik-baik saja. Tubuhnya bisa menahan rasa sakit yang tidak seberapa itu. Toh, itu hanya luka kecil baginya,” Taeyong memotong ucapan Ten yang sepertinya khawatir pada Jaehyun.

Jaehyun hanya mendengus pelan dan menyuruh Ten dan Doyoung agar benar-benar menjauh darinya dengan ketus. Yeah, apa yang dikatakan Taeyong memang benar, rasa sakit yang ada di tubuhnya memang tidak seberapa, tapi meski begitu ia masih bisa merasakan nyeri di beberapa bagian tubuhnya.

Entah bagaimana kronologisnya ia sampai bisa berada di tempat asing ini bersama tiga orang menyebalkan tersebut, yang jelas Jaehyun ingin segera angkat kaki, meninggalkan mereka semua. Namun, sosok wanita berusia empat puluh tahunan yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar tersebut, menghentikan langkahnya.

“Sarapan sudah siap, Anak-anak. Dan kau, teman Taeyong, apa kau sudah baikan?” Ibu Taeyong mengarahkan pandangannya pada Jaehyun. “Kau mau ke kamar mandi?”

Tak ada yang bisa Jaehyun lakukan selain mengangguk, mengiyakan pertanyaan wanita berambut pendek tersebut karena ia memang akan beranjak ke kamar mandi untuk mandi, membersihkan diri.

.

.

“Kami berangkat dulu, Bibi. Terima kasih atas sarapannya!” Ten membungkukkan tubuhnya di depan ibu Taeyong dan tersenyum lebar. Doyoung pun melakukan hal yang sama sebelum Taeyong menyuruh mereka keluar dan berpamitan pada ibunya.

Ngomong-ngomong, Jaehyun sudah lebih dulu keluar sejak tadi setelah berpamitan dengan ibu Taeyong dengan nada suara pelan dan kini sudah berdiri di dekat tiang listrik sambil beberapa kali menyentuh luka di sudut bibirnya.

“Benarkah kita hanya perlu berjalan kaki hanya untuk sampai ke sekolah?” tanya Ten polos.

Taeyong hanya mengangguk kecil sambil membetulkan letak strap tasnya yang ada di bahunya.

“Tapi… Ten, kau yakin kau tidak mau menaiki sepedamu?” Doyoung yang berjalan di samping Taeyong menunjuk ke sepeda yang sejak tadi dituntun Ten.

“Saya ingin berangkat dengan kalian…” Ten memberi jeda pada kata-katanya ketika ia mengalihkan pandangannya ke arah Jaehyun yang berjalan lebih dulu dari mereka bertiga. “Apa… tidak apa-apa dia berjalan sendirian seperti itu?”

“Dia memang selalu berjalan sendirian,” Taeyong menjawab sesaat setelah ikut memandang punggung Jaehyun yang ada di depan mereka bertiga. Namun, ia dibuat sedikit terkejut saat melihat Ten justru mempercepat langkah kakinya untuk menghampiri Jaehyun. Tak hanya dirinya, Doyoung pun memiliki reaksi yang sama.

Bukannya apa-apa, hanya saja… Taeyong dan Doyoung sedikit banyak mengenal bagaimana perangai Jaehyun. Mereka berdua hanya was-was jika tiba-tiba Jaehyun mendorong Ten dan berteriak padanya agar tidak berjalan dengannya.

Well…, tampaknya itu hanya prasangka buruk Taeyong dan Doyoung saja karena….. Jaehyun masih berjalan normal meski Ten ada di sampingnya. Tapi tetap saja, mata Taeyong dan Doyoung tidak boleh lepas dari mereka berdua.

“Kau yakin tetap mau masuk sekolah dengan kondisimu yang seperti itu?”

Entah karena Ten yang memang tidak takut—setidaknya sih begitu— pada Jaehyun atau karena memang terlalu polos hingga tidak bisa membaca ekspresi wajah Jaehyun, pertanyaan itu lolos begitu saja dari bibirnya. Bahkan ia tak lupa mendongakkan kepalanya hanya untuk memandang Jaehyun yang ada di sampingnya, yang mana tak memberikan respon apapun padanya.

“Sebenarnya kau bisa saja libur untuk hari ini dan—“

“Apa kau secerewet itu?”

“Hah?”

Ten mengerjap-ngerjap polos pada Jaehyun.

“Lebih baik kau perhatikan jalanmu kalau tidak mau ditabrak.”

Hanya itu yang diucapkan Jaehyun sebelum mendorong Ten agar masuk ke dalam area trotoar lagi setelah menyadari Ten sedikit terlalu dekat dengan tepi jalan raya yang cukup ramai. Tak lupa umpatan lolos dari bibirnya ketika memilih untuk berjalan lebih cepat, meninggalkan ketiga “temannya”.

Oh, berangkat sekolah bersama orang lain ternyata cukup menyebalkan bagi seorang Jung Jaehyun. Dan pagi ini adalah buktinya. Ia berharap itu adalah untuk yang pertama dan terakhir.

oOo

Seperti dugaan Jaehyun, kemunculannya dengan luka memar di wajahnya cukup berhasil mengubah suasana kelasnya menjadi neraka lagi. Ditambah kondisi wajah Doyoung dan Ten yang tak jauh beda darinya. Semua orang tak henti menolehkan wajahnya ke arah belakang, lebih tepatnya ke arah dua meja kelas yang bersebelahan di barisan paling belakang yang mana adalah tempat dirinya, Doyoung, Ten dan Taeyong duduk.

Jika Taeyong hanya diam seperti biasa, sibuk dengan sebuah buku di depannya, Jaehyun justru gerah melihat Doyoung dan Ten berusaha menjelaskan pada teman-teman sekelasnya yang duduk tak jauh darinya. Well, mereka berdua memang tidak menceritakan yang sebenarnya sih, tapi tetap saja Jaehyun merasa ingin menyumpal mulut mereka dengan apapun agar mau berhenti berbicara.

“Ini tidak ada hubungannya dengan dia. Kami tidak bertemu dengannya kemarin,” ujar Doyoung pada murid bernama Kang Seo Joon yang duduk di depannya. Temannya itu mengira orang yang sudah menghajar Doyoung dan Ten adalah Jaehyun karena luka mereka bertiga hampir sama.

“Dia… membantu kami,” sahut Ten dengan ringan yang menyebabkan beberapa temannya terdiam  dengan pandangan tidak percaya.

Bukannya apa-apa sih, hanya saja… sahutan Ten terdengar sangat mustahil di telinga mereka. Jaehyun? Membantu? Dua hal tersebut terkesan dua hal yang sangat asing dan tidak bisa disandingkan begitu saja karena….

Jung Jaehyun membantu?

Dalam hitungan kurang dari lima detik dua murid laki-laki yang sejak tadi “menginterogasi” Ten dan Doyoung mendadak terkejut dan seketika kembali ke posisi duduk mereka menghadap ke depan setelah sebuah buku mendarat tepat di atas meja Doyoung dengan keras.

Dan Ten adalah satu-satunya orang yang ikut dalam percakapan itu, yang berani menoleh ke arah orang yang sudah melempar buku tersebut. Jung Jaehyun. Siapa lagi coba?

“Berhentilah bicara omong kosong,” desis Jaehyun seraya mengulurkan tangannya ke arah Doyoung. “Berikan buku itu padaku.”

Tanpa bicara apapun, Doyoung lantas mengambil buku tersebut dan memberikannya pada Jaehyun.

Cukup mengerikan memang. Tapi Ten dan Doyoung entah kenapa memiliki pemikiran yang sama atas apa yang baru saja dilakukan Jaehyun. Andai saja murid laki-laki berambut gelap itu tidak melemparkan buku ke arah mereka, mungkin dua teman sekelas mereka tadi tetap akan memborbardir mereka berdua dengan pertanyaan yang sama.

Jung Jaehyun kan yang memukul kalian hingga wajah kalian babak belur seperti itu?

Yeah, pertanyaan itu.

“Kukira kau hanya akan diam saja? Terima kasih sudah mau membantu mereka.”

Suara pelan Taeyong membuat Jaehyun menyatukan kedua alis matanya dan menoleh dengan wajah yang tidak senang.

“Kenapa? Mau menyangkal apa yang tadi kukatakan?” Untuk yang kesekian kalinya, Taeyong tidak merasa terintimidasi dengan tatapan tajam Jaehyun. Ia hanya menaikkan alisnya, menunggu respon dari Jaehyun yang hanya membuang wajah ke arah depan.

Atmosfir yang sedikit intens di kelas tersebut akhirnya sedikit teralihkan oleh kedatangan Guru Hwang, Guru Mata Pelajaran SAINS. Tanpa menyapa atau menyuruh ketua kelas untuk memberikan salam padanya, pria bertubuh kurus tinggi tersebut langsung melemparkan pandangannya pada Jaehyun yang ada di barisan bangku paling belakang.

“Siapa lagi kau hajar, Jung Jaehyun? Teman sekelasmu sendiri?” Guru Hwang menggerakkan matanya sekilas pada Doyoung dan Ten yang ada di samping Jaehyun.

Doyoung dan Ten baru akan membuka mulut mereka untuk membantah ketika Jaehyun lebih dulu menjawab dengan nada yang sama ringannya dengan cara bicara Guru Hwang.

“Jika saya menyangkal, Anda juga belum tentu percaya. Jadi…, bisa langsung saja ke mata pelajaran hari ini?”

Ha, alih-alih menjadi tenang, semua murid yang ada di dalam kelas tersebut justru menjadi sedikit tegang karena sahutan Jaehyun. Asal tahu saja, Guru Hwang adalah salah satu guru paling keras yang ada di sekolah ini. Dia cukup terkenal di angkatan kedua dengan cara mengajarnya yang ketat dan keras.

“Karena kau jenius di semua mata pelajaran, aku akan membiarkanmu, Jung Jaehyun. Nah, anak-anak, kita mulai pelajaran hari ini.”

Hanya itu yang diucapkan Guru Hwang sebelum memulai pelajaran paling membosankan bagi hampir semua murid di sekolah ini. Atau mungkin di sekolah yang ada di negara lainnya.

Yeah, membosankan mungkin menjadi kata yang paling tepat karena… lihat saja, beberapa murid di kelas 2-3 memilih untuk menggunakan buku pelajaran mereka sebagai bantal, penutup wajah atau berpura-pura fokus pada buku dan papan tulis secara bergantian selama jam pelajaran berlangsung. Akan tetapi, ada juga yang masih berotak waras, yang dengan rajinnya mendengarkan setiap penjelasan dari Guru Hwang. Terutama dua meja yang ada di barisan belakang, meski salah satu dari mereka hanya duduk santai sambil sesekali menulis sesuatu pada bukunya.

Akan tetapi, entah bagaimana, di akhir jam pelajaran tersebut, tiba-tiba saja ada sesi pembentukan kelompok untuk mengerjakan sebuah tugas kelompok. Dan entah bagaimana, proses pembentukan kelompok tersebut menyisakan Doyoung, Ten, Jaehyun dan Taeyong yang sama-sama belum memiliki kelompok. Eumm… sebenarnya Doyoung dan Ten sudah berencana menjadi teman satu kelompok, hanya saja mereka baru menyadari kelompok mereka masih kekurangan anggota.

“Jung Jaehyun dan Lee Taeyong akan masuk ke dalam kelompok saya, Pak!” ujar Ten dengan lantang dan… santai. Sangat santai hingga ia tak menyadari bagaimana hampir seisi kelas memusatkan pandangan mereka ke arahnya.

“Baiklah, karena mereka berdua belum memiliki, kelompok, kau bisa menjadikan mereka anggota kelompokmu. Bagaimana, Taeyong-ah?” tanya Guru Hwang pada Taeyong yang rupanya hanya mendapatkan anggukan dan senyum kecil. “Dan, kau, Jung Jaehyun?”

Aneh bila ada jawaban yang keluar dari mulut Jaehyun. Hanya dengan melihatnya diam tanpa mengatakan apapun dan sorot mata yang malasnya, setidaknya kita bisa berasumsi bahwa ia setuju secara tidak langsung.

Ya…., setidaknya. Berharap saja begitu.

.

.

.

“Jadi, dalam waktu satu minggu, kita harus menyelesaikan lima poin presentasi ini dan mempresentasikannya di atas kelas.. wait, I mean.. di depan kelas. Oh My God… saya baru masuk sekolah ini dua hari, tapi tugasnya sudah sebanyak ini. Wow, saya suka ini,” Ten berujar sambil mengamati buku tugas yang ia letakkan di dekat tempat makan siangnya. Sesekali ia mengaduk-aduk nasi hangat dengan sendok dan mengambil satu sendok penuh nasi sebelum memasukkannya ke dalam mulut dengan antusias.

Doyoung yang melihatnya hanya tersenyum geli menyaksikan tingkah Ten. Mungkin baru kali ia melihat ada seorang murid yang sangat senang mendapat tugas sekolah yang cukup banyak di awal-awal dia masuk sekolah. Padahal normalnya, semua orang akan merasa kesal dan risih pada hal-hal semacam itu.

“Apa kau sesenang itu?” tanya Taeyong yang duduk di depan Ten dengan ramah. Ten hanya mengangguk dengan semangat karena mulutnya penuh dengan nasi dan kimchi.

“Cih, kau ini naif atau terlalu polos?” gumam Jaehyun dengan sinis yang sejak tadi duduk diam di samping Taeyong sambil berusaha menyuapi dirinya sendiri dengan enggan. Jujur saja, ia masih belum bisa menghilangkan rasa kesalnya sejak Ten menyeretnya seperti sapi keluar dari kelas sambil mengajak Doyoung dan Taeyong agar mau makan bersama di kantin ini.

Jika bukan karena tugas kelompok sialan itu, mungkin Jaehyun tidak peduli dengan mereka bertiga yang entah kenapa bersikap seolah sudah sangat akrab satu sama lain dengannya. Maaf saja, Jaehyun cukup risih dengan mereka. Ingin rasanya ia segera pergi dari kantin ini.

“Olesi lukamu dengan krim ini. Itu akan hilang sedikit lebih cepat,” ujar Doyoung sambil mendekatkan sebuah tube  kecil ke dekat tangan Jaehyun yang ada di atas meja.

“Apa aku terlihat begitu menyedihkan hingga—“

“Kalau kau mau, ambil. Kalau tidak mau, biarkan saja itu di sana. Itu cara termudah daripada mengatakan sesuatu yang kasar,” Taeyong memotong ucapan Jaehyun yang mana langsung mendapat tatapan tajam dari pemuda berlesung pipit itu.

“Apa? Kau memukulku?” tanya Taeyong dengan tenang sambil kembali mengalihkan pandangannya ke arah makan siangnya yang ada di atas meja.

Ten dan Doyoung dibuat terkejut dan hampir melepaskan sendok mereka saat Jaehyun berdiri dengan tiba-tiba hingga tanpa sengaja lututnya membentur tepi meja dengan cukup keras.

“Orang-orang yang memuakkan,” desis Jaehyun sebelum pergi begitu saja.

Ten dan Doyoung masih membeku di tempat mereka, memandang punggung Jaehyun yang menjauh dari pandangan mereka. Mereka berdua… benar-benar terkejut. Namun, ucapan pelan Ten tampaknya berhasil memaksa Doyoung untuk mengernyitkan kening dan menoleh ke arahnya.

“Apa saya boleh menghabiskan makan siang milik Jaehyun?”

Taeyong hanya terkekeh pelan menanggapi Ten sebelum pada akhirnya ia menggeser tempat makan siang Jaehyun yang masih terlihat penuh ke depan Ten. “Kau benar mau menghabiskannya?”

Doyoung pun ikut tertawa kecil, seolah lupa pada apa yang disaksikannya sebelum ini. “Ten, woah… kau ini…”

What’s wrong? Saya hanya tidak ingin makanan itu terbuang begitu saja padahal bibi kantin sudah repot-repot memasaknya,” ujar Ten seraya memindahkan semua isi tempat makan siang Jaehyun ke dalam tempat makan siangnya.

“Oh, ya, mengenai Jaehyun…, kalian tidak usah khawatir. Apapun yang dia ucapkan jangan dimasukkan ke dalam hati,” ucap Taeyong kemudian.

“Aku juga sudah tahu bagaimana sebenarnya anak itu. Yang harus kau beritahu adalah Ten. Mungkin dia sedikit syok dengan perilaku normal Jaehyun tadi,” sahut Doyoung setelah kembali menyantap makan siangnya.

“Saya? Kenapa dengan saya?” Tampaknya Ten sedikit tidak memerhatikan percakapan dua orang teman sekelasnya. Hal yang ia dengar adalah namanya dan nama Jaehyun disebutkan.

“Habiskan sajalah makan siangmu,” jawab Doyoung sambil tertawa, menepuk sekilas lengan pemuda yang lebih pendek dari tersebut.

“Tidak, kita harus tetap membahas tugas kelompok kita ini karena kurasa bahan presentasi yang kita butuhkan cukup banyak. Terutama untuk poin ketiga dan keempat,” bantah Ten, mendaratkan bukunya ke tengah meja dan membukanya lebar-lebar.

“Kau juga berpikiran seperti itu?” Doyoung terpaksa mengangkat kedua alisnya karena apa yang dikatakan Ten sama persis dengan yang ada di dalam pikirannya tadi.

Ten mengangguk dan menjelaskan sekilas tentang bahan presentasi yang ia katakan tadi sambil kembali menyantap makan siangnya.

Taeyong yang menyaksikan dua pemuda tersebut hanya menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, cukup takjub dengan daya pikir mereka tentang pelajaran sekolah. Meski ia paham dengan apa mereka bahas saat ini, terkadang ia harus mengernyitkan keningnya, mencoba mencerna apa maksud beberapa hal walaupun pada akhirnya ia hanya akan bertanya pada mereka.

oOo

Doyoung hampir saja terhuyung ke belakang ketika tiba-tiba saja sebuah tangan mendarat keras ke lengannya. Oh, ini bukan mendarat, tapi lebih tepatnya memukul.

Awalnya Doyoung ingin berteriak, tapi setelah menoleh dan melihat siapa yang baru saja memukul lengannya, ia seketika menarik kedua sudut bibirnya ke atas, menampilkan senyum tanpa ekspresi.

“Hai, Paman!”

Hai, Paman kau bilang? Yaa, ke mana saja kau sejak semalam? Kau tahu tidak aku mencarimu ke mana-mana! Dan ponselmu…” Paman Park mendadak menghentikan omelannya dan berdehem pelan. Ia langsung menarik Doyoung ke dalam mobil. Asal tahu saja, beberapa murid yang kebetulan juga baru keluar dari gerbang sekolah memerhatikan mereka berdua dengan heran. Dan pria paruh baya ini tidak mungkin memarahi Doyoung di depan mereka.

Cara satu-satunya agar bisa memarahi Doyoung sepuasnya adalah segera pergi dari area depan sekolah.

“Paman—“

“Ke mana saja kau semalam?” Paman Park langsung menyemprot Doyoung dengan nada marah.

“Aku—“

“Gara-gara kau menghilang, aku hampir kehilangan pekerjaan tercintaku ini, tahu tidak? Baiklah, aku sudah tidak bisa lagi sudah berapa kali aku hampir kehilangan pekerjaan ini hanya karena kau pergi tanpa sepengetahuanku. Tapi… astaga, Kim Doyoung, ke mana saja kau semalam?”

Paman Park lantas menarik napas panjang dan menghembuskannya secara perlahan setelah mengeluarkan semua kekesalannya dalam satu tarikan napas. Doyoung hanya bisa menghela napas karena semua ucapannya dipotong, padahal sejak tadi ia mencoba menjelaskan semuanya.

“Doyoung?” Paman Park terpaksa memanggilnya ketika mereka berhenti di lampu merah.

“Aku hanya menginap di rumah temanku, Paman. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jadi, nanti biar aku saja yang berbicara pada ayah,” kata Doyoung.

“Oh ya? Kalau begitu tolong sekalian jelaskan pada ayahmu tentang wajahmu yang babak belur itu.”

Paman Park kembali memfokuskan diri ke arah depan karena lampu sudah berganti menjadi hijau dan kembali melajukan mobil hitam tersebut. Doyoung langsung menunduk dan menyentuh wajahnya. Ia masih bisa merasakan nyeri di beberapa bagian wajahnya.

Ah, ia hampir saja lupa dengan luka di wajahnya. Bodoh sekali, kau Kim Doyoung!

“Apa kau dihajar seseorang? Tidak. Apa kau berkelahi?”

Tak ada jawaban dari Doyoung dan itu praktis membuat Paman Park yakin bahwa anak bosnya ini memang berkelahi.

“Haaah…., anak-anak jaman sekarang. Apakah tidak ada hal lain yang bisa mereka lakukan selain berkelahi? Ini sudah kedua kalinya aku melihat wajahmu seperti itu. Masih ingat bagaimana tahun lalu aku harus menyembunyikanmu dari ayahmu saat….”

“Cerewet sekali,” potong Doyoung sambil tertawa. Yeah, setidaknya dengan mendengar sopir kesayangannya itu mengomel panjang lebar, ia tahu kalau secara tidak langsung ia sudah dimaafkan. Nah, masalah yang harus ia hadapi sekarang adalah bagaimana cara memberitahu ayahnya ke mana ia menghilang semalam dan membuat alasan yang cukup masuk akal untuk luka memar di wajahnya ini.

.

.

.

“Aku tidak mau ikut denganmu. Kau urusi saja masalah yang kau buat sendiri.”

Paman Park hanya berkata seperti itu setelah memarkirkan mobil dan pergi begitu saja ke area belakang rumah Doyoung yang begitu besar dan mewah. Dan Doyoung hanya bisa berdecak pelan.

Langkahnya melambat ketika ia berjalan masuk ke pintu utama rumahnya. Di area parkir dalam rumahnya sudah berjejer beberapa mobil mewah berwarna hitam. Apakah ayahnya sedang mengadakan rapat dengan rekan-rekan kerjanya di rumah seperti sebelumnya?

Sebuah senyum kemenangan terpatri di bibirnya untuk beberapa detik setelah ia menyadari sesuatu. Kalau ada orang-orang pemerintahan di dalam rumahnya, itu artinya ia bisa menghindar dari ayahnya sementara waktu.

“Satu lagi alasan kenapa aku menyukai hari ini,” gumamnya pelan sambil masuk ke dalam rumahnya.

Sebenarnya ia bisa saja langsung berjalan ke arah tangga dan naik ke lantai dua di mana kamarnya berada di atas sana, tapi suara beberapa orang yang berbicara dari arah ruang pertemuan ayahnya berhasil membuat kakinya berbelok arah.

Perlahan ia mengayunkan kakinya ke arah ruang pertemuan yang tak jauh dari ruang tamu dan mengamati sekilas apa yang terjadi di dalam ruangan tersebut melalui celah pintu yang tidak tertutup sempurna.

Well, mungkin menguping seperti ini adalah hal sia-sia yang ia lakukan karena sejak beberapa detik yang lalu hingga sekarang ia tidak mengerti dengan apa yang orang-orang itu bicarakan. Entah itu karena pendengarannya yang mendadak buruk atau karena orang-orang itu memelankan suara mereka. Dilihatnya, ayahnya sesekali tersenyum bersama orang-orang tersebut, seolah baru saja mendapatkan kesepakatan atau apalah itu.

Doyoung menghela napas pelan dan berjalan mundur, memutuskan untuk menyudahi kegiatan bodohnya. Sambil memeriksa ponselnya, ia naik ke lantai dua. Sebuah notifikasi ia dapatkan ketika baru saja membuka pintu kamarnya.

Ten baru saja memasukkan anda ke dalam grup chat

“Anak ini…” Doyoung seraya menutup pintu kamar dan melempar tas sekolah dan jas almamater ke sofa kecil dekat tempat tidur. Tanpa berganti pakaian, ia langsung mendarat di atas tempat tidurnya yang empuk. Membiarkan tubuhnya berguncang beberapa detik, menikmati sensasi yang ia buat sendiri sebelum ia melihat satu pesan lagi masuk ke layar grup chat.

<Ten10> ; Doyoung!!!!!!

Sambil tersenyum, Doyoung pun membalas pesan temannya yang berdarah campuran itu. Namun, belum selesai ia mengetikkan kata-katanya, dua notifikasi baru muncul.

Lee Taeyong baru saja dimasukkan ke dalam grup chat.

Jaehyun baru saja dimasukkan ke dalam grup chat.

Doyoung terpaksa menaikkan alis matanya melihat nama Jaehyun di layar ponselnya, cukup takjub dan tidak percaya Ten baru saja memasukkan nomor kontak Jaehyun ke dalam grup chat ini.

<Ten10> ; Sekarang teman satu kelompok saya sudah lengkap di sini!!

<Taeyong> ; Terima kasih, Ten ^^

<Doyoung> : Terima kasih, Ten J

Jaehyun baru saja keluar dari group chat.

Doyoung terpaksa meloloskan tawa kecilnya saat melihat sebuah notifikasi dari Jaehyun yang keluar dari group chat. Baiklah, anak itu tidak suka dimasukkan ke dalam grup chat. Ha.

Jaehyun baru saja dimasukkan ke dalam group chat.

<Ten10> : Jaehyun, mari kita menjadi teman baik!!!

Jaehyun baru saja keluar dari group chat.

Astaga. Doyoung kini tak bias berhenti tertawa melihat semua notifikasi itu. Ia bias bayangkan bagaimana kesalnya Jaehyun yang terus-menerus dimasukkan ke dalam group chat ini meski ia sudah berkali-kali mengeluarkan dirinya.

“Kau menemukan lawan yang tangguh, Jaehyun-ah.”

To be continued

14 thoughts on “[NCTFFI Freelance] Troublemakers (Chapter 3)

  1. Meskipun blm baca previous chapternya, tp penggambarannya jelas. Mas Jae kau dingin sekali dan chitta, semoga dapat melulukan jaehyun.

    Like

  2. Aduh…sukak >< jalan ceritanya biarpun sederhana(?) tapi tetap menarik buat diikutin…terus gaya penulisannya juga simple tapi gak ngebosenin…very nice (y)
    dan aku geli pas baca bagian jaehyun keluar masuk grup chat itu,kocak xD

    lanjutkan thor,fighting!!!!! 😀

    Like

  3. Duh, seneng bgt ni ff di lanjut stelah sekian lama saya menunggu. Ni cerita.a tmbah keren n mudah di pahami. Lanjut y thor… Jgn lama2.

    Like

  4. Serius aku kaget pas buka nctffi terus liat ff ini, duh kangennya~~ Akhirnya setelah sekian lama penantian /hah

    Ish jaehyunie kenapa dirimu dingin sekali😆 Keluar masuk grup chat wkwk

    Ditunggu next-nya author-nim, fighting!❤

    Like

  5. Plissss segera up lagi thorrrr ngebayangin mukanya jaehyun yg cocoknya punya sifat taeyong tapi malah berandalan tuh sesuatu bgtttt haha

    Like

  6. Suka bgt sama jalan ceritanya…. Tiap karakter punya pesonanya sndri… Bahasanya juga asik.. Pkknya suka bgt llah… Cepet update ya kak.. 🙂

    Like

  7. holla, authornim,, aq bingung mau manggil penname mu, tapi aq cukup yakin kamu pun masih lbh muda dibanding aku kalo aq mau manggil noona (atau lbh tepatnya unni). hhehe
    salam kenal, Fafa imnida, 92L.

    sebenernya aq udh ngikutin dr prolog, tapi baru komen sekarang /ojigi berkali-kali/

    well, story nya friendship gini aq suka. kalo bisa pure friendship terus malah bagus. aq blm liat school 2013 sih, tapi itu drama kayaknya bagus deh.

    heol, di beberapa tempat aq masih nemu kata yang dobel kamu pake, jadi kalimat itu sebenernya lbh efektif klo kmu menghilangkan salah satu /well, ini aq komen telat, komen sekali udah berisik, hahay/dibalang/

    ngeliat doyoung jadi anak pejabat jadi inget ff sendiri. hahay. doyoung lu siap2 aja dibantai ayah Suho kalo tau lu berantem/ salah komen lapak woy!/

    keep writing dear,

    Like

Feedback Juseyo ^^