[Ficlet-Mix] Being Brother for The First Time

picsart_1486303460167

Being Brother for The First Time

a special b’day fic from nctffi staff

fic by: angelaranee & Febby Fatma

| Length:  2 Ficlets | Rating: PG |

 Genre: Family, Brothership

Rules : no plagiarism !

.

[1]

Kalau boleh jujur, Park Jisung sama sekali tidak pernah memikirkan sebuah skenario di dalam kepalanya tentang bagaimana ketika ia menjadi seorang kakak. Well, menjadi anak tunggal memang menyebalkan karena terkadang kau merasa begitu kesepian ketika kau sedang tidak bersama-sama dengan para temanmu, tapi Jisung rasa ia sendiri juga belum dan tidak akan pernah siap menjadi seorang kakak. Jadi ketika Ibu bilang bahwa ada seorang janin di rahimnya, Jisung nyaris terkena serangan jantung di usia sembilan tahun.

“Itu adikmu,” ucap perawat yang mendampingi Jisung masuk ke dalam ruangan bayi di rumah sakit, tujuh jam setelah bayi perempuan yang diberi nama Park Jiyoon itu lahir. “Lihat, dia lucu sekali, bukan?”

Well…” Jisung meringis. “…ya, sangat lucu.”

“Berapa usiamu sekarang?”

“Sepuluh.”

“Oh, cukup jauh dengan adikmu, ya? Tapi aku yakin kau bakal jadi kakak yang baik buat adikmu.”

“Ya, aku juga berharap begitu.”

Jisung menatap lamat-lamat sosok mungil di dalam boks bayi merah muda di hadapannya. Park Jiyoon, atau apa pun namanya, bayi yang usianya belum ada setengah hari ini memang tampak menggemaskan. Kedua pipinya tembam dan memerah, menjepit hidungnya yang mungil. Kata Ibu, Jiyoon lebih gemuk ketimbang Jisung ketika anak laki-laki itu masih bayi dulu. “Well, kau memang lucu,” gumam Jisung. “Tapi kau terlihat seperti bencana, tahu?”

***

“Ibu bisa percaya padamu, ‘kan?”

Jisung menatap ibunya dengan wajah tanpa ekspresi. “Er… semoga?”

“Bukan semoga, Jisung. Kau memang harus bisa Ibu percaya,” Nyonya Park menepuk bahu putra sulungnya sembari tersenyum hangat. “Kau adalah seorang kakak, Jisung. Bukannya Ibu hendak menuntutmu macam-macam, tapi Ibu benar-benar berharap kau bisa diandalkan.”

“Ya, tapi… aku belum pernah ditinggal sendirian di rumah bersama dengan balita sebelumnya?”

“Kau pasti bisa melakukannya kalau kau mendengarkan pesan-pesan dari Ibu tadi. Lagipula, kalau terjadi sesuatu yang tidak bisa kau kendalikan, kau bisa telepon Bibi Hwang. Oke?”

Jisung memejamkan mata sejenak sembari menghela napas, sebelum mengangguk mengiyakan. “Oke.”

Jisung tidak tahu apa yang dipikirkan oleh Ibu. Ayah dan Ibu hendak pergi melayat salah seorang kerabat di luar kota, dan alih-alih menitipkan Jiyoon di rumah Nenek serta membiarkan Jisung singgah ke rumah temannya yang bernama Chenle, mereka malah mengambil keputusan untuk meninggalkan Jisung dan Jiyoon berdua saja di rumah hingga nanti malam.

“Oh, tenang saja, Jisung. Kau pasti bisa melakukannya,” Jisung bergumam pada dirinya sendiri. “Umurmu sudah lima belas tahun, Jiyoon sudah lima tahun. Ia sudah bisa diajak bicara dan melakukan beberapa hal tanpa perlu dibantu. Ini tidak akan sulit.”

***

Selama lima tahun Jiyoon hidup, ia tidak pernah benar-benar dekat dengan kakak semata wayangnya, Park Jisung. Entah apakah karena jarak umur yang terlalu jauh, atau karena Jisung yang kelewat sibuk dengan dunianya sendiri. Hubungan antara kedua kakak-beradik itu terlampau canggung, membuat Jiyoon sedikit berat hati ketika Ibu bilang bahwa hari ini ia akan meninggalkan dirinya berdua saja dengan Jisung di rumah. Ugh, Jiyoon akan lebih suka kalau Ibu mengantarnya ke rumah Nenek, karena Nenek pasti bakal membuatkannya kukis yang manis dan menceritakan dongeng-dongeng lucu.

Gadis kecil itu mendesis ketika perutnya mulai menggelar konser orkestra. Saatnya makan siang, haruskah ia minta tolong kakaknya? Oh, tidak, tidak perlu. Jiyoon ‘kan sudah bisa makan sendiri tanpa perlu disuapi. Ia beranjak dari lantai kamarnya yang beralaskan karpet lembut, kemudian berlari kecil menuju dapur untuk mengambil makanan.

Sayang sekali, sesampainya di sana, gadis itu harus menelan ludah lantaran Ibu rupanya tidak meninggalkan hidangan makan siang sebelum pergi bersama Ayah. Ini artinya Jiyoon harus minta tolong Jisung untuk memasak atau setidaknya membeli makanan di luar.

Mengendap-endap, Jiyoon berjalan menuju kamar sang kakak yang pintunya sedikit terbuka. Dwimanik bulatnya mengintip Jisung yang tengah duduk di atas ranjang sembari menyibukkan diri dengan laptop. Sejenak, Jiyoon kembali merasa ragu, haruskah ia benar-benar minta tolong pada kakaknya?

“Kak Jisung?” panggil Jiyoon lirih, menampakkan sosok mungilnya di ambang pintu dengan langkah malu-malu.

“Oh, Jiyoon?” Jisung menoleh sebentar sebelum kembali berpaling ke layar laptopnya. “Ada apa?”

“Aku lapar.”

Jisung menoleh untuk kedua kalinya kepada Jiyoon, kali ini lebih lama, lengkap dengan ekspresi bingung yang tertera di wajahnya. “Ibu tidak memasak untuk makan siang hari ini?”

Jiyoon menggeleng, sementara Jisung merutuk dalam hati. Sial, dia ‘kan tidak bisa memasak. Tentu saja ia tidak mau ambil resiko membakar seisi rumah serta membahayakan dirinya dan Jiyoon.

“Kau mau makan apa?” tanya Jisung.

“Ayam?” Jiyoon terdengar sedikit ragu dengan jawabannya.

“Oke,” Jisung menepuk tangannya satu kali. “Ayo kita keluar dan makan ayam.”

***

“Ayamnya enak?”

“Enak!”

“Baguslah, cepat habiskan, ya. Aku masih ada tugas sekolah.”

“Oke, Kak!”

Jisung menatap Jiyoon yang duduk di hadapannya, sembari memakan seporsi Happy Meal dengan lahap. Diam-diam, remaja laki-laki itu mengulum senyum geli. Jiyoon memang benar-benar menggemaskan, sayang sekali sulit baginya untuk tidak bersikap canggung dengan Jiyoon.

Mungkin karena selisih usia yang terpaut cukup jauh, mungkin karena ia terlalu sibuk dengan sekolah dan teman-temannya, mungkin juga… karena Jisung memang tidak pernah siap menjadi seorang kakak? Andai saja waktu bisa diulang, maka Jisung ingin memperbaiki apa yang kini ia sesali. Ia ingin membangun relasi yang baik dengan Jiyoon, menjadi kakak yang bisa Jiyoon banggakan setiap waktu.

“Kak Jisung?”

“Ya?”

“Kakak belum bisa makan sendiri?”

“Bisa, kok. Memangnya kenapa?”

Jiyoon menunjuk bagian kanan ujung bibirnya sendiri, namun Jisung hanya menatap adiknya penuh tanya. Jemari mungil dan gempal Jiyoon meraih selembar tisu, lantas terjulur untuk mengusap saus tomat yang menempel di ujung bibir Jisung. “Kalau Kak Jisung belum bisa makan sendiri kenapa tidak bilang? ‘Kan bisa aku suapi.”

Sepersekian sekon, Jisung masih terdiam, sebelum terkekeh pelan sembari melahap suapan terakhir nasi dan ayamnya. “Aku bisa makan sendiri, kok. Tadi itu tidak sengaja, oke?”

“Tapi aku sering lihat Kakak belepotan kalau sedang makan,” ucap Jiyoon.

“Itu artinya aku punya kebiasaan makan yang buruk, yang tidak boleh kau tiru.”

Hmm, oke. Omong-omong, Kak Jisung makannya lama sekali. Aku suapi, ya?”

“Hei, sudah aku bilang aku bisa makan sendiri.”

“Tidak apa-apa, Kak! Tadi ‘kan Kak Jisung bilang sendiri masih ada tugas. Aku suapi biar cepat selesai dan tidak berantakan, oke?”

Sekali lagi, Jisung menertawakan ulah lucu adiknya, sebelum membuka mulut untuk menerima satu suapan kecil dari Jiyoon. “Hei, Jiyoon. Bagaimana kalau sehabis ini kita beli es krim?”

“Tapi Kak Jisung harus segera pulang.”

Uh, aku baru ingat kalau sebenarnya deadline tugas itu masih agak lama, jadi aku masih punya banyak waktu untuk mengerjakan.”

“Jadi, kita bisa beli es krim?”

“Tentu saja!”

“Yeay, aku sayang Kak Jisung!”

Bocah lelaki itu menjulurkan tangan kurusnya untuk mengacak rambut Jiyoon. Sebenarnya, ia berbohong. Deadline pengumpulan tugasnya adalah besok pagi, tapi, toh itu bisa menunggu. Bagaimanapun, Jisung tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan untuk memperbaiki hubungannya dengan Jiyoon, bukan?

.

.

[2]

Jisung tahu kalau punya adik itu bukanlah hal yang mudah. Dari riview teman-temannya, bisa Jisung tarik kesimpulan kalau menjadi seorang kakak adalah pekerjaan paling melelahkan setelah menunggu cinta yang tak pasti. Tapi biar begitu Jisung tidak bisa menolak takdirnya yang kini mendapat saudara baru.

Bukan kandung. Namanya Sungji. Bocah lima tahun yang baru saja kehilangan ayah dan ibunya beberapa minggu lalu.

Awalnya Jisung dan Sungji adalah tetangga. Rumah mereka bersebelahan dan orangtua mereka juga cukup dekat. Tapi beberapa minggu lalu sebuah kecelakaan besar terjadi, orangtua Sungji meninggal dan Sungji adalah satu-satunya korban selamat. Karena Sungji tidak memiliki kerabat lagi akhirnya orangtua Jisung memutuskan untuk mengangkat bocah malang itu menjadi adik Jisung.

Jisung tidak keberatan. Diumurnya sekarang menerima saudara angkat karena alasan seperti itu bukanlah hal yang sulit bagi Jisung, hanya saja tugas seorang kakak yang tiba-tiba menghampirinya itu yang sedikit sulit Jisung lakukan.

Ia baru saja memasuki SMA dan banyak hal yang harus ia lakukan agar bisa menikmati kehidupan SMA sampai tiga tahun ke depan. Sedangkan Sungji adalah anak yang baru masuk taman kanak-kanak. Perbedaan umur sepuluh tahun antara keduanya memberi semacam sekat tipis yang cukup sulit di rusak.

“Jisung, nanti pulang sekolah tolong jemput Sungji ya? Ibu dan ayah hari ini sedikit sibuk dan sepertinya harus lembur. Jadi tolong jaga dia.”

Terpaksa Jisung mengangguk. Menolak hanya akan membawa masalah lain; diceramahi, misalnya. Dan Jisung pikir dari pada waktunya terbuang sia-sia untuk hal seperti itu ia lebih bersedia menggunakan waktunya untuk pergi ke sekolah dan membangun kehidupan sekolah barunya.

***

“Jisung hyung~!”

Sosok kecil dengan seragam olahraga berwarna orange berlari menghampirinya. Ini sudah jam empat sore dan masih ada anak yang tinggal di taman kanak-kanak tidak jauh dari rumahnya, Jisung benar-benar baru tahu tentang ini.

“Sungji-ah, biasanya kau pulang jam berapa?”

“Setelah makan siang.”

Jisung mengangguk-angguk. Ternyata itu alasan kenapa ibunya selalu bisa menjemput anak ini.

“Setelah itu?”

“Aku akan tinggal di rumah sendirian.” Jantung Jisung mencelos. Bocah itu mengatakan kata ‘sendiri’ tanpa beban, dan justru tersenyum. Seolah itu bukan masalah. “Tapi kadang-kadang aku main diluar dengan teman-teman.”

“Oh~ baguslah kalau begitu.”

Jisung tahu betul rasanya ditinggal sendiri di rumah. Sejak kecil karena kedua orang tuanya bekerja Jisung sering menghabisakan waktu sendiri di rumah, bermain video game, menonton kartun atau membaca komik. Paling mentok, Jisung main dengan anak-anak seumuran disekitar rumahnya. Dan mendengar Sungji mengalami hal yang sama membuat Jisung merasa seperti melihat dirinya sepuluh tahun lalu.

“Kau sudah makan?”

Sungji mengangguk. Dia justru menceritakan lauk makan siangnya hari ini. “Aku dapat sosis lebih banyak dari teman-temanku yang lain, dan sup-ku tidak ada daun bawangnya.” Kira-kira seperti itu intinya.

Jisung tidak mendengarkan semuanya karena pikirannya kini penuh dengan macam-macam cara membuat Sungji senang hari ini. Tidak tahu kenapa, Jisung hanya merasa ia harus melakukannya. Sebagai seorang kakak, juga sebagai anak yang pernah ada di posisi yang sama dengan Sungji, Jisung harus melakukannya.

“Sungji-ah, kau mau es krim?”

“Ibu bilang aku tidak boleh makan es krim.”

“Kenapa?”

“Katanya es krim bisa membuatku sakit dan bodoh.”

Jisung ingat ibunya juga pernah mengatakan hal yang sama pada dirinya dulu. Ternyata hal itu tidak berubah sama sekali. Bersyukur saja ibunya karena Sungji adalah anak penurut, kalau tidak mungkin akan ada kisah yang sama seperti Jisung dulu.

“Untuk kali ini kau kuijinkan. Tapi jangan bilang ibu.”

“Sungguh?”

Jisung mengangguk. Sedikit kaget saat tangannya yang menuntun Sungji ditarik agar ia berjalan lebih cepat menuju minimarket terdekat. Sungji terlihat sangat senang dan Jisung yang melihatnya ikut tertular.

Pada akhirnya yang mereka beli bukan hanya es krim seperti rencana awal. Banyak jajanan lain dan Jisung hampir kehilangan setengah uang saku mingguannya hanya untuk mentraktir Sungji sore itu.

Jisung mengajak Sungji menghabiskan jajanan mereka di taman dekat rumah, ia merasa malas untuk pulang saat tahu ayah dan ibunya juga akan pulang telat. Lagi pula berdua dengan Sungji di taman bukan hal yang buruk, cukup mengasikkan – walau cukup melelahkan pula. Mendengarkan cerita Sungji yang panjang dan berputar-putar, berulang-ulang pula, cukup melelahkan.

Tapi Jisung menyukainya.

Ternyata seperti ini rasanya punya saudara.

Pikiran itu masuk dan membuatnya jatuh hati pada sosok bocah di sampingnya yang sedang pamer cara membuat pesawat terbang dari kertas. Jisung tidak ingin kehilangan momen ini. Terlalu menyayangkan kalau mengingat waktu berjalan sangat cepat. Dibanding semua itu ia justru sangat menyesalkan karena baru hari ini ia benar-benar menghabiskan waktu dengan Sungji, memahami bocah itu dan benar-benar merasa menjadi seorang kakak.

Jisung bangga mengakuinya.

“Malam ini mau makan apa? Karena ayah dan ibu pulang telat aku yang akan masak.”

“Apa ya? Hyung bisa buat apa memangnya?”

“Ramen, hanya itu.”

“Baiklah, kita makan ramen buatan hyung. Tapi pakai sosis ya?”

Sambil terenyum Jisung mengangguk. “Sungji suka sekali sosis ya? Padahal sudah dapat sosis paling banyak saat makan siang, sudah beli sosis bakar juga denganku tadi, masih mau makan sosis lagi?”

“Tentu saja. Makanan kesukaanku itu sosis.”

“Kalau begitu ayo pulang.”

“Gendong~”

Dua tangannya naik mengisyaratkan apa yang ia inginkan dan Jisung hampir mati jantungan barusan dibuatnya. Padahal Sungji adik laki-laki tapi bisa jadi begitu imut di depan kakaknya. Jisung pikir hanya adik perempuan saja yang manja dan menarik perhatian dengan cara seperti itu, tapi ternyata tidak, Sungji jauh lebih menggemaskan dari bayangan Jisung.

Jisung berjongkok, membiarkan Sungji naik di punggungnya. Bocah itu sangat senang hanya kerena digendong, dan Jisung sendiri baru tahu kalau Sungji ternyata sangat berat untuk ukuran bocah lima tahun.

“Hari minggu nanti aku akan pergi ke taman bermain, Sungji mau ikut?”

“Ikut-ikut!” dia sangat bersemangat sampai melonjak-lonjak di gendongan Jisung. Menyiksa punggung Jisung dan menambah bebannya. “Janji ya hyung?”

Jisung mengangguk.

“Tapi ada syaratnya.”

“Apa?”

“Cium dulu.”

Dengan cepat Sungji memberikan satu kecupan di pipi Jisung begitu Jisung berbalik.

“Janji ya?”

“Baiklah. Hari minggu jangan bangun kesiangan.”

“OKE~”

Jadi seorang kakak itu memang pekerjaan yang melelahkan, Jisung tidak membantahnya. Kenyataanya sekarang punggungnya sakit bukan main, dan ia terpaksa menahan jajannya untuk seminggu ini. Tapi mengingat hari minggu nanti akan pergi berdua dengan Sungji membuatnya sangat bersemangat, lebih bersemangat dibandingkan dengan saat ia berhasil membuat janji untuk kencan dengan gadis paling cantik di kelasnya bulan depan.

Jisung menyukainya. Menjadi seorang kakak itu menyenangkan dan Jisung tidak ingin kehilangan saat-saat seperti ini. Ingin lebih sering lagi menciptakan momen berharga dengan Sungji mulai saat ini.

“Sungji-ah.”

“Hmm?”

“Jangan tidur, kau jadi makin berat tahu.”

“Hmm.”

“Dasar kau ini.”

-fin.

5 thoughts on “[Ficlet-Mix] Being Brother for The First Time

Feedback Juseyo ^^