[NCTFFI Freelance] Hate at First Sight (Vignette)

HATE AT FIRST SIGHT

.

Slice-of-life, Friendship, Angst || Vignette || Teen

.

Starring
NCT’s Taeyong and You as Yoon Raena

.

“I believe in hate at first sight.”

.

© 2017 by Gxchoxpie

.

I own the plot. Credit poster to Veokim @ poster channel

.

== HAPPY READING ==

.

.

.

Namanya Lee Taeyong. Biasanya ia dipanggil Taeyong. Tubuhnya tinggi dan bisa dibilang cukup atletis. Kulitnya putih pucat. Mungkin kalau kau bertemu dengannya, kaku akan mengatakan bahwa ia tampan dengan rambut hitam kecoklatannya itu.

Ia adalah teman sekelasku. Entah takdir macam apa ini, tetapi ini adalah tahun ketiga aku sekelas dengannya. Entah siapa guru yang mengatur pembagian kelas setiap tahunnya, yang pasti aku selalu berakhir satu kelas bersamanya. Sejak awal aku masuk sekolah ini kelas sepuluh dulu, lalu kelas sebelas, dan sekarang kelas dua belas.

Tetapi walaupun sudah dua tahun lebih sekelas, boleh dikatakan kami tidak pernah bercakap-cakap satu sama lain. Interaksi yang terjadi di antara kami hanyalah “Aku mau pinjam gunting” atau “Yoon Raena, aku mau pinjam buku kimiamu, aku mau menyalin” dan berakhir dengan buku kimia milikku dan milikinya disita oleh guru bahasa inggris karena ia dianggap tidak mendengarkan guru dan malah mengerjakan tugas lain. Interaksi lainnya mungkin hanyalah “Lee Taeyong, jangan injak tasku” ketika ia duduk di bangkuku agar bisa mengobrol dengan Jung Jaehyun, sahabatnya yang duduk di belakang bangkuku, dan ia hampir menginjak tas ransel putih baruku. Selebihnya? Tidak ada.

Aku memang tidak menyukainya. Maksudku, aku mempunyai kesan pertama yang buruk terhadapnya. Pertama kali aku bertemu dengannya di kelas sepuluh, dia sedang duduk santai di kursi dan menyelonjorkan kakinya sampai ke atas meja. Di lehernya, tergantung sebuah headphone berwarna merah dan jemarinya sibuk menekan layar ponsel, padahal sudah ada larangan di sekolahku yang melarang siswa membawa barang elektronik kecuali laptop ke sekolah. Oh, dan percayalah padaku bahwa saat bertemu dia itu, rambutnya berwarna putih!

Saat itu aku langsung mengambil kesimpulan bahwa ia adalah anak yang nakal. Pepatah mengatakan bahwa jangan menilai orang dari penampilan luarnya saja. Aku merasa aku tidak sedang melakukan hal itu, karena aku dapat membuktikan bahwa ia benar-benar nakal. Entah sudah berapa kali ia diusir dari kelas karena mengganggu kegiatan belajar-mengajar. Tidak banyak guru yang bisa menghadapinya. Ia tampaknya tidak peduli dengan PR, tugas, maupun ulangannya. Sepertinya satu-satunya hal yang ia sukai di sekolah adalah pelajaran olah raga dimana ia akan bermain sepak bola atau basket hingga berkeringat, dan sekembalinya ke kelas ia akan tertidur pulas di bangkunya.

Aku tidak menyukainya, dan sepertinya ia juga tidak menyukaiku. Beberapa kali aku memergoki dirinya dan teman-temannya tertawa cekikikan sambil melirik ke arahku. Sudah bisa dipastikan mereka sedang berbicara tentangku. Buatku tidak masalah. Selama mereka tidak main fisik kepadaku, kurasa aku masih bisa menahannya.

Semuanya berjalan seperti biasa. Aku, Yoon Raena, masihlah peraih ranking tiga besar kelas dan masuk sepuluh besar seangkatan. Sementara dia, Lee Taeyong, rangking satu dari paling bawah kelas yang naik kelas pun sudah syukur. Sepertinya interaksi di antara kami akan terus seperti ini. Sepertinya kami tetap akan tidak menyukai satu sama lain. Ya, seperti ini. Tidak akan ada yang berubah.

Sampai sehari yang lalu.

Saat itu aku baru saja pulang dari bioskop bersama Kim Doyoung, sahabatku. Kami sedang menyanyikan lagu Count on Me-nya Bruno Mars di mobilnya ketika berita itu datang di grup Line kelas. Ibu Taeyong meninggal secara mendadak karena kecelakaan mobil. Rumah duka bertempat di rumahnya sendiri. Dengan tenggorokan tercekat aku menyampaikan berita tersebut pada Doyoung yang sedang menyetir. Doyoung langsung memutar arah laju mobilnya dan tancap gas menuju rumah Taeyong. Aku segera menghubungi appa dan mengatakan bahwa malam ini aku pulang telat.

Rumah Taeyong sudah ramai ketika kami datang. Aku bertemu dengan beberapa teman sekelasku seperti Taeil, Johnny, Soojung, dan Hyesung. Aku dan Doyoung menghampiri ayah Taeyong dan mengucapkan turut berbela sungkawa. Setelah itu Doyoung bergabung dalam percakapan dengan Johnny dan Yoora. Sementara aku mendapati diriku mencari-cari Taeyong karena sejak tadi aku belum melihat batang hidungnya. Kalau dipikir-pikir, aku sendii tidak tahu untuk apa aku mencarinya tetapi aku sekarang benar-benar sedang mencarinya.

Udara malam hari itu terasa pengap, mungkin arena terlalu banyak orang di rumah itu. Aku memutuskan untuk mencari udara segar di luar. Tetapi di luar, tepatnya di dekat kolam ikan, aku melihat sesosok orang yang sedang berjongkok. Dari postur tubuhnya aku dapat menerka bahwa itu adalah Taeyong.

Aku menghampirinya, ikut berjongkok di sampingnya. Tidak ada kata-kata yang terucap di antara kami. Aku ingin bertanya apakah dia baik-baik saja, tetapi kemudian aku merasa bodoh. Suah bisa dipastikan bahwa dia sedang tidak baik-baik saja. Taeyong tidak menangis, bahkan suara isakan sehalus apapun itu tiada terdengar. Aku memang tidak bisa melihat ekspresi wajahnya dalam cahaya remang-remang seperti ini, tetapi aku masih bisa mendengar nafasnya yang tetap tenang.

 “Sedang apa kau di sini?” Akhirnya Taeyong memecahkan keheningan menyesakkan di antara kami dengan sebuah pertanyaan yang sama sekali tidak terdengar ramah.

Aku menoleh. “Huh?”

“Sedang apa kau di sini?” tanyanya sekali lagi. “Aku tidak suka padamu.”

 “Aku tahu,” jawabku sambil berusaha tersenyum. “Aku juga. Aku benci padamu sejak pertama kali kita bertemu.”

 “Pergi,” perintahnya lemah. “Aku mau sendiri.”

 “Tetapi kenapa perkataanmu barusan terdengar seperti ‘jangan pergi, kumohon, aku butuh teman’ di telingaku?”

 “Huh?”

Tanpa berkata apa-apa, aku melingkarkan lenganku dan memeluknya. Dia masih tetap Taeyong yang kubenci, tetapi saat ini Taeyong lebih membutuhkan sebuah pelukan daripada kebencian.

 “Aku tahu apa yang kau rasakan,” ujarku sambil menepuk-nepuk punggungnya.

Tiba-tiba ia mendorongku keras hingga aku hampir terjungkal ke belakang. “Omong kosong!” katanya. “Aku sudah muak dengan semua itu! ‘Turut berduka cita…’ ‘Aku mengerti apa yang kau rasakan…’ Aku benci kalimat-kalimat itu! Kalian semua tidak ada yang bisa mengerti perasaanku sebenarnya!”

 “Aku tidak bicara omong kosong, Lee Taeyong-ssi!” Suaraku meninggi. Sengaja kuberi penekanan pada akhiran ssi agar ia tidak salah paham bahwa aku masih menganggapnya sebagai orang yang tidak kukenal dekat. “Aku memang benar-benar mengerti apa yang kau rasakan. Aku mengerti rasanya ditinggal eomma secara mendadak. Karena aku sendiri pernah mengalaminya.”

Huh?”

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diriku agar tidak menangis. Malam itu, aku memutuskan untuk membagi perasaanku kepada seseorang yang kubenci, seseorang yang sama sekali tidak pernah aku sukai.

 “Delapan tahun yang lalu eomma juga meninggal karena kecelakaan mobil. Semua orang bilang ‘Turut berduka cita’ ‘Kamu yang tabah, ya…’ Aku hanya bisa terlihat tegar terutama di depan appa supaya beliau tidak tambah sedih. Tapi siapa yang peduli perasaanku? Siapa yang peduli kalau aku juga masih butuh pelukan seorang ibu?”

Aku merasakan air mata yang berkumpul di pelupuk mataku. Aku menyusutnya dengan ujung baju. Setelah merasa lebih tenang, aku mulai melanjutkan lagi. “Karena itu, ketika kau menyuruhku untuk pergi tadi, aku tidak mau pergi. Aku nggak tahu apa yang membuatku jadi pedul padamu. Mungkin karena aku membencimu. Tetapi yang pasti kita pernah mengalami hal yang sama.”

Dia tidak berkata apa-apa. Keheningan datang menyelimuti seraya kami berdua menatap bintang, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sayup-sayup terdengar suara acara penghiburan yang masih berlangsung di dalam rumah.

Aku tidak menolak ketika dia tiba-tiba menyandarkan kepalanya pada pundakku. Sedikit terkejut, tetapi kubiarkan saja.

“Boleh aku menangis?” tanya Taeyong. Suaranya bergetar.

Aku tersenyum. “As you wish.”

Dan dia benar-benar menangis. Dia memang tidak tersedu-sedu, tetapi aku dapat merasakan punggungnya yang bergetar.

Malam itu, kejadian pada malam itu berhasil mengubah cara pandangku terhadap seorang Lee Taeyong.

-fin-

7 thoughts on “[NCTFFI Freelance] Hate at First Sight (Vignette)

  1. TIDAK INI HUHU, TAEYONG-SSSSIIIIIIIIII

    ((PLIS TIA BACANYA AJHUSSI TOLONG SADARKAN KEFANAAN INI))

    OKE POKOKNYA INI FIC SUKSES YA BIKIN BAPER SECARA YA EMANG SEBENERNYA ORANG NAKAL TUH BEGINI:’)) SOK SOK KUAT BAH PADAHAL MAH NANGIS JUGA KALO DI GITUIN KAN:’))))))

    PARAH BAPER:’)

    FIX MAKASI TIWAI BIKIN MALAM INI TERASA HANGAT OQ

    Like

    • tiaaa…. astaga taeyong bukan ahjusshi XD
      nah iya… orang nakal jg punya sisi lemah jg, punya perasaan jg… 😀
      makasih ya udah mampir 😀

      Liked by 1 person

  2. INI SISI TERDALAM SEORANG COWOK; RAPUH :””””

    KAK CE BIKIN SABTU PAGIKU JADI NANO-NANO. ENTAH KENAPA SUASANA FF INI ITU MENYAYAT SEKALIGUS HANGAT BANGET :”””””

    SUKSES BIKIN JI BAPER SUMVAH DEH :”””

    Like

  3. Percayalah nak, percayalah pada temanmu itu bahwasannya lelaki sekuat dan setegar apapun pasti butuh sandaran, butuh yg namanya nangis juga :”)

    Kakcee sukses bikin baper heuuuuu, pas lagi baper2nya malah udah tamat aja :”) BUTUH SEKUEL YHA B U T U H ! /lalu pulang

    Nice fic kakceee, keep writing yaa❤️❤️

    Like

    • nah bener… mereka jg punya perasaan, punya air mata, bisa nangis jg…
      wakakakaka aduh kamu jangan baper gitu ah hahahah fana 😀 makasih udah mampir donjaahh

      Liked by 1 person

Feedback Juseyo ^^