[NCTFFI Freelance] I (Ficlet)

IMG_20160518_055003

I

by jaoya

Starring SR16G’s Hina & NCT’s Jaemin | Fluff, School Life | Teen | contains 918 words.

—–

Hina kedapatan surat. Bukan jenis surat yang biasa mampir ke dalam kotak pos rumahnya setiap hari, melainkan surat misterius yang tiba-tiba saja muncul di bawah kolong mejanya entah bagaimana.

Hina was-was, bingung, dan terserang panik. Bagaimana kalau itu semacam surat kaleng—walaupun pengirimnya jelas-jelas tidak menaruhnya di dalam sebuah kaleng rombeng. Atau bisa saja surat itu ditujukan dari pihak sekolah kepadanya sebagai peringatan karena Hina pernah melakukan pelanggaran. Mungkin Bapak Kepala Sekolah mereka yang terhormat tahu kalau diam-diam Hina masih suka mengoleksi puluhan komik bertemakan boys love kendati ibunya sudah melarang.

Tidak mungkin.

Bapak Kepala Sekolah tidak tahu di mana Hina menyembunyikan koleksi komiknya dan Hina pun tidak pernah sekalipun membawa barang terlarangnya itu ke sekolah. Dan lagi, Hina tidak ingat kalau sekolah barunya ini menerapkan larangan membawa komik BL ke sekolah. Jadi, sah-sah saja apabila suatu hari nanti Hina kedapatan membawa salah satu komiknya karena hal itu sama sekali tidak berbenturan dengan aturan manapun.

Hina menimang-nimang surat misterius itu di tangannya. Bel istirahat sudah berdentang beberapa menit yang lalu, tetapi Hina masih enggan beranjak dari kursi untuk menyusul teman-temannya yang sudah lebih dulu menyerbu kantin. Surat ini tidak mungkin berasal dari kalangan guru jika menilik amplopnya yang berwarna merah jambu. Lagipula, isi suratnya juga sama sekali tidak bersifat formal lantaran tidak menyertakan kop surat di atas kertasnya. Dan Hina seratus persen yakin, kalau memang surat ini berasal dari staf sekolah, harusnya Hina sudah dipanggil ke ruang guru untuk menerimanya. Alih-alih, Hina malah menemukannya tergeletak di kolong mejanya.

Yang semakin membuat Hina dilanda kebingungan adalah isi dari surat itu sendiri. Banyak kosa kata asing dalam Bahasa Korea yang belum dipelajarinya sehingga otak pas-pasan Hina harus berjuang mati-matian bergulat di antara dua bahasa; Jepang sebagai bahasa ibunya, dan Korea sebagai bahasa keduanya.

Aduh, Hina makin bingung. Siapa sih yang kurang kerjaan mengirimi Hina surat seperti ini, dan apa pula tujuannya?

“Hei, Hina. Kupikir kamu di kantin.”

Na Jaemin, anak laki-laki yang duduk di sebelah bangkunya menyapa. Hina menanggapi basa-basi itu dengan senyuman hambar.

“Belum lapar.”

“Oh.” Jaemin bergumam, dan seper sekon kemudian atensinya ikut-ikutan beralih pada sepucuk amplop yang berada dalam genggaman Hina.

“Omong-omong, itu apa?”

“Ini?” Hina mengacungkan amplopnya, mengikuti arah pandang Jaemin.

“Surat. Tapi entah surat macam apa dan entah siapa pengirimnya. Tahu-tahu muncul di kolong meja bangkuku.”

“Wah,” Jaemin terlihat antusias lalu berinisiatif menarik kursi di depan bangku Hina dan segera duduk di sana sambil menghadap ke arah gadis Jepang itu.

“Jangan-jangan surat dari penggemar rahasia!”

Hina menanggapi gagasan Jaemin dengan raut bingung. Pikirnya, dirinya bukan idol, jadi tidak sepatutnya punya penggemar. Siapa juga yang mau jadi penggemar dari anak baru yang baru bersekolah dua minggu dan punya aksen super aneh setiap kali berbicara dalam Bahasa Korea? Rasa-rasanya Hina tidak punya kualifikasi yang mumpuni untuk meraup penggemar barang seorang pun.

“Mana mungkin. Isi suratnya saja tidak menunjukkan bahwa dia adalah seorang penggemar.”

“Boleh kulihat suratnya?”

Hina menyanggupi dan mengulurkan suratnya kepada Jaemin. Teman sekelasnya itu tampak membacanya dengan begitu teliti dari paragraf yang paling atas sampai ke yang paling bawah. Hina tahu sebab dia mengamati pergerakan bola mata Jaemin dengan seksama.

“Kamu tahu surat itu berisikan tentang apa, Jaemin?” tanya Hina penasaran.

“Kalau boleh kubilang, ini semacam puisi cinta. Percaya padaku, siapapun yang menulisnya pastilah sosok yang sangat romantis.” jawab Jaemin penuh keyakinan.

“Dan menurutmu, apakah dia yang mengirimkan surat ini?” Hina bertanya lagi sambil menunjuk ke pojok kanan bawah suratnya, di mana ada huruf alfabet I cukup besar ditulis dengan tinta pulpen bertengger di sana.

“Apakah si pengirim surat ini juga sedang berusaha memberitahuku kalau inisial namanya berawalan huruf I?”

“Hm, bisa jadi…”

“Bentuk I pada huruf alfabet dan pada huruf hangul ‘kan hampir mirip, juga punya pelafalan yang hampir sama. Aku berpikir jangan-jangan pengirimnya seseorang dengan marga Lee. Sebentar, coba kuingat-ingat siapa teman kita yang punya marga Lee.” Hina tampak berpikir sementara Jaemin menunggu.

“Eh, Lee Jeno!” cetus Hina kemudian.

“Ah, tidak mungkin Jeno!” Jaemin buru-buru menampik. “Nilai Bahasa Korea Jeno paling buruk di sekolah. Aku juga ragu dia bisa membuat puisi.”

“Iya juga, ya.. Lagipula belum pasti pengirimnya adalah seseorang bermarga Lee. Barusan itu hanya asumsiku saja,” sahut Hina  kecewa. Dia terpaksa harus kembali memutar otak.

Um, mau dengar pendapatku, tidak? Kupikir huruf I di sini bisa jadi semacam kode. Mari kita coba ambil kemungkinan yang paling sederhana. Bisa jadi I di sini merupakan bahasa lain—ambil yang terdekat, Bahasa Inggris.”

Hina cuma menganggut-anggutkan kepala, tampak menyimak penuturan Jaemin dengan serius.

“Ada kata dalam Bahasa Inggris yang hanya terdiri dari huruf I. I ini bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Korea mempunyai arti—“

“Ah, aku!” seru Hina semangat.

“Iya, betul! Aku!” balas Jaemin tak kalah semangat sebelum kembali mengemukakan analisisnya.

“Jadi, satu-satunya teman kita di kelas ini yang punya marga Aku dan besar kemungkinan merupakan pengirim surat ini adalah…,” Jaemin membimbing Hina pelan-pelan untuk menjawab.

“Adalah…,” Hina menerka-nerka.

“Adalah…?” Jaemin mulai tak sabar.

Um, nama teman kita itu…,” Hina kelihatan tak yakin.

“Ayolah, Hina! Kamu sudah tahu jawabannya, ‘kan?” tanya Jaemin gemas.

Hina bimbang. Otaknya masih terus berupaya keras. Dia belum terlalu hapal nama teman-temannya di kelas yang baru.

Na… nan molla.” kata Hina akhirnya. Pasrah karena tetap tidak menemukan titik terang soal siapa gerangan sebenarnya I itu.

Mungkin saat ini ‘penggemar rahasia’nya masih tetap harus menjadi ‘rahasia’ sampai waktu sendiri yang bersedia menjawabnya untuk Hina.

Tapi, bagaimanapun Hina harus tetap terlebih dahulu berterima kasih kepada Jaemin karena sudah berinisiatif membantu menjawab rasa penasarannya tentang si pengirim surat misterius, biarpun—

“Aduh, Hina! Masa kamu tidak tahu nama lengkapku, sih?!”

Yah, Na Jaemin marah.

-fin.

.

.

.

Meskipun fic ini tida ada unsur ultahnya tetapi tetap SELAMAT HARI NA JAEMIN! Minta doanya guys agar dd ini lekas debut. :”)

Btw makasih buat admin nctff header-nya markmin ya ampun otp qu huhu markmin nu aing aing nu saha. :”)

7 thoughts on “[NCTFFI Freelance] I (Ficlet)

Feedback Juseyo ^^