[Oneshot] Under the Same Sky

Under the Same Sky.jpg

a 3.100 words story with Moon Taeil

by Joanne Andante Cho

 

Malam dikuasai kegelapan, siang dikuasai cahaya.

Jika ada yang melanggar kodrat itu, dunia akan kiamat.

Negara Nočné

Moon Taeil menguap keras-keras, membuat guru yang ada di depan kelas itu berhenti menulis di papan dan berbalik melihat Taeil. Bukan hanya sang guru yang dibuat terkejut dengan tingkah lakunya, seisi kelas pun menatap Taeil dengan wajah tak nyaman.

“Kapan kelas akan berakhir, Bu?” Taeil bertanya.

“Segera, Yang Mulia. Setelah materi ini selesai, kelas akan berakhir.”

Guru wanita itu menjelaskan tentang struktur pemerintahan Negara Nočné, sebuah materi yang membosankan bagi Taeil karena ia sudah mendengar cerita yang sama berulang-ulang sejak kecil. Pangeran Taeil adalah anak tunggal dari Raja dan Ratu Negara Nočné, sebuah negara tanpa cahaya matahari yang langitnya selalu gelap gulita dan selamanya malam.

“Negara kita bertetangga dengan Negara Svetlý,” kata guru itu sambil menunjuk sebuah poster peta di papan tulis. “Negara Svetlý adalah negara yang tidak pernah mengalami malam. Matahari bersinar sepanjang hari dan tidak pernah terbenam.”

“Bagaimana mungkin Ibu mengetahui sesuatu tentang Negara Svetlý sementara Ibu tidak pernah mengunjunginya?” Taeil tiba-tiba bertanya. “Selama ratusan tahun, Negara Nočné dan Negara Svetlý tidak mempunyai hubungan baik. Tidak pernah ada orang dari negara ini yang berkunjung ke sana. Begitu pula sebaliknya.”

“Begini, Yang Mulia,” kata guru itu tenang. “Apa yang saya sampaikan di kelas saat ini adalah pengetahuan yang berdasarkan pada sejarah yang telah diajarkan sejak dulu.”

“Kenapa negara kita dan mereka tidak pernah menjalin hubungan yang baik?” Taeil bertanya lagi.

“Bukannya negara ini dan Negara Svetlý tidak bisa menjalin hubungan yang baik, Yang Mulia,” jawab guru itu lagi. “Tetapi, gelap ada di seluruh langit negara ini selamanya. Ini sudah takdir, dari dahulu seperti itu. Bagi Negara Svetlý, ini tentu adalah ancaman. Mereka tidak bisa memantau apa yang terjadi di negara ini dan bagaimana kita berkembang.”

“Apakah itu berarti Negara Svetlý menganggap kita sebagai ancaman?” Taeil bertanya kritis. “Kita seharusnya menjelaskan pada mereka bahwa Negara Nočné bukanlah ancaman hanya karena mereka tidak bisa melihat cahaya dari negara ini.”

“Seharusnya, sebagai anggota keluarga kerajaan, Yang Mulia bisa menjawab pertanyaan itu sendiri,” kata gurunya sambil tersenyum.

-=-

Ada sebuah pagar border yang membatasi Negara Nočné dengan negara-negara tetangganya. Taeil ada di antara orang-orang yang ingin melintasi border, bertujuan pergi ke negara lain entah untuk bekerja, sekolah, berlibur, atau memuaskan rasa penasaran. Khusus tujuan yang terakhir, sepertinya hanya Taeil yang ada di sana untuk itu.

“Selamat malam,” sapa seorang petugas penjaga border dengan satu-satunya sapaan yang ada di negara itu. “Passport Anda?”

“Ah ya,” kata Taeil sambil mengambil ransel dari punggungnya. “Tunggu sebentar,” katanya lagi sembari memasukkan tangan ke ranselnya, mencari-cari passport miliknya.

“Sekadar saran, jika berlibur ke negara lain, ada baiknya Anda tidak menaruh passport di dalam tas seperti itu. Sangat berbahaya. Apa Anda belum pernah berlibur ke negara lain?”

Ucapan petugas penjaga border membuat Taeil terdiam. Ia baru sadar, selama hidupnya, belum pernah sekali pun Taeil menginjakkan kaki keluar dari Negara Nočné. Ia adalah seorang pewaris tahta, yang keluar rumah pun hanya sebulan sekali. Jika keluar rumah, semua pengawal mengikutnya.

“Belum pernah,” jawab Taeil jujur sambil menyerahkan passport bersampul hitam miliknya.

“Sayang sekali, Tuan Han Jaehyun,” kata petugas itu sambil membaca data diri Taeil. “Usia Anda saat ini sudah dua puluh tahun. Sebaiknya Anda lebih banyak berlibur.”

Jantung Taeil berdegup kencang, takut kalau jati dirinya terungkap. Ia memakai nama palsu, passport palsu, dan data palsu demi keluar dari negaranya sendiri. Untung saja, Taeil jarang terekspos media. Tidak banyak yang mengenali wajahnya sebagai pewaris tahta.

“Saran yang bagus,” kata Taeil cepat-cepat. “Karena itulah aku ingin melihat Negara Śnieg.”

“Pilihan yang tepat untuk berlibur,” ujar petugas border itu masih sambil memeriksa data-data Taeil di komputer. “Salju di sana sangat indah. Anda akan merasa senang di sana.”

Petugas itu menemukan data Han Jaehyun di database negara. Ia memberikan cap di passport yang Taeil bawa dan mengembalikan passport itu pada Taeil.

“Terima kasih,” ujar Taeil lega.

“Sama-sama. Selamat berlibur, Tuan Han Jaehyun.”

Taeil pun berjalan, melewati border dan keluar dari zona negaranya. Dengan cepat, ia memasukkan passport Han Jaehyun ke tasnya dan mengeluarkan passport lain dari saku celananya. Sampul passport tersebut berwarna putih, dengan tulisan khas Negara Śnieg. Sambil menahan rasa takutnya, ia berjalan di sepanjang jalan setapak menuju Negara Svetlý. Sedikit demi sedikit, warna langit di atas Taeil berubah.

“Antrian ke Negara Svetlý?! Silahkan buat barisan di sini!”

Seruan itu menyadarkan Taeil bahwa ia semakin dekat dengan negara tetangga. Ia melihat antrian panjang di depan sebuah border warna jingga. Taeil mengantri di belakang rombongan turis dari negara lain yang ia tak ketahui asalnya. Sambil memegang passport palsunya, Taeil menunggu antrian.

“Berikutnya!”

Taeil maju, memperlihatkan passport di tangannya pada petugas berpakaian merah itu. Ia menatap data-data Taeil dan foto Taeil, serta membandingkan foto itu dengan wajah Taeil. Sambil mengerutkan dahinya, petugas itu mengambil cap dan memberikan izin masuk untuk Taeil.

“Terima kasih.”

Taeil pun melangkah terus menuju pintu keluar itu. Ketika ia mencapai pintu, sinar matahari membuatnya terkejut dan mundur jauh-jauh. Pertama kalinya dalam hidup, Taeil merasakan sinar matahari di sekujur tubuhnya.

-=-

Negara Svetlý

Sun Hyunrae berjalan melewati kios-kios di Pasar Rakyat Svetlý sembari merapikan penutup rambutnya. Ia menolak sopan tawaran penjual bahan makanan yang menjulurkan kacang-kacangan mentah padanya. Dari kejauhan, Hyunrae melihat penjual perhiasan di salah satu kios. Tanpa ragu-ragu, ia menyentuh salah satu gelang kain berwarna biru.

“Gelang keberuntungan?” Hyunrae berpikir sendiri.

“Benar sekali, Nona. Mungkin ini hari keberuntungan Anda. Siapa yang tahu, Anda akan bertemu jodoh Anda hari ini,” kata sang penjual bersemangat. “Tidak perlu mahal-mahal, hanya tiga Leson saja.”

“Lima Leson untuk dua gelang. Bagaimana?” Hyunrae menawar.

“Cukup bagus,” ujar penjual itu sambil menjentikkan jari. “Sepertinya Anda suka warna biru. Boleh saya sarankan merah untuk pasangannya? Warna merah senada dengan warna penutup kepala Anda, Nona.”

“Pilihan yang baik,” kata Hyunrae seraya memberikan lima koin Leson pada penjual itu.

Hyunrae mengambil dua gelang yang diserahkan padanya. Ketika ia berbalik, seseorang menghantam tubuhnya dengan cukup keras. Hampir saja Hyunrae terjatuh, jika seseorang itu tidak lebih dulu menangkap tangannya dan menariknya.

-=-

Senyum bahagia tidak henti-hentinya menghias wajah Taeil ketika ia melangkah masuk ke Pasar Rakyat Svetlý. Pasar itu sangat indah, disinari cahaya matahari yang berkilauan dari langit. Para pedagang berseru-seru, menawarkan dagangan mereka pada siapa saja yang melewati pasar itu.

“Daging segar, Pak?”

Taeil mundur selangkah saat sepotong daging segar disodorkan padanya. Ia kaget, tentu saja. Ini pertama kalinya dalam hidup ia mengalaminya. Tapi, buru-buru Taeil menggantikan rasa kaget itu dengan tawa yang ramah.

“Aku tidak bawa uang,” kata Taeil sopan. “Mungkin lain kali,” ucapnya lagi sambil berbalik.

Kesalahan besarnya adalah Taeil tidak melihat seorang wanita yang berjalan ke arahnya. Taeil dan wanita itu pun bertabrakan. Karena tubuh Taeil lebih tinggi dan stabil, ia tidak terjatuh. Lain halnya dengan wanita itu yang langsung kehilangan keseimbangan. Sebelum wanita itu jatuh, Taeil lebih dulu menangkap tangannya dan membantunya menjaga keseimbangan.

“Maaf!” Taeil berseru kaget. “Aku tidak sengaja.”

Seperti sebuah adegan lambat, penutup rambut wanita itu terlepas, jatuh ke tanah dan memperlihatkan rambut cokelat pemiliknya. Taeil terkesima karena sosok wanita itu sangatlah cantik. Matanya berwarna biru, menatap Taeil dengan tatapan yang hangat.

“Tidak apa-apa. Aku juga salah, tidak melihatmu,” jawab wanita itu.”

Ketika wanita itu menunduk untuk mengambil penutup rambutnya, Taeil juga melakukan hal yang sama, membuat tubuh mereka hampir bertemu. Buru-buru Taeil melepaskan tangannya, membiarkan wanita itu mengambil penutup rambutnya sendiri.”

“Kau tidak apa-apa?” Taeil bertanya lagi.

“Ya, aku tidak apa-apa. Terima kasih banyak.”

“Namaku Sun Hyunrae. Siapa namamu?”

“Taeil. Moon Taeil.”

“Moon Taeil?” Hyunrae mengerutkan alisnya. “Kau pasti bukan dari Negara Svetlý. Nama keluargamu terdengar asing.”

Taeil menelan ludah, khawatir kalau-kalau jati dirinya sebagai anggota keluarga Negara Nočné terbongkar. Ia berdeham sejenak dan tertawa kecil untuk meredam rasa khawatirnya.

“Aku dari Negara Śnieg,” jawab Taeil semampunya. “Boleh kutanya padamu, bagaimana aku bisa menukar uang? Aku tidak punya uang Leson.”

“Kau bisa menukarnya dengan Leson milikku,” kata Hyunrae sambil mengulurkan tangan. “Berapa banyak uang yang kau punya?”

“Tujuh puluh Kahlsha,” jawab Taeil jujur.

“Kahlsha? Itu bukan mata uang Negara Śnieg. Kau dari Nočné?” Hyunrae bertanya kaget. “Kahlsha adalah mata uang Nočné. Dan nama keluargamu, Moon, artinya bulan. Apa kau imigran gelap?”

Terdiam, Taeil tidak bisa lagi menemukan alasan untuk dilontarkan pada Hyunrae. Ia menelan ludah, tidak membantah, yang berarti mengiyakan.

“Tolong, jangan laporkan aku,” kata Taeil akhirnya. “Aku hanya, ingin melihat matahari.”

Di luar dugaan, Hyunrae malah tersenyum kecil ketika mendengar jawaban itu. Bagi seseorang dari Negara Nočné, melihat matahari adalah sesuatu yang sangat indah. Hyunrae tahu, negara itu hanya ditutupi gelap malam. Taeil pasti tidak pernah merasakan hangatnya sinar matahari dan indahnya langit biru seperti yang Hyunrae alami tiap hari.

“Kapan kau akan kembali ke negaramu?” Hyunrae bertanya.

“Segera, kalau aku sudah menemukan apa yang kucari. Suasana siang hari.”

“Kalau begitu, ikutlah denganku. Aku juga tengah mencari sesuatu,” kata Hyunrae. “Kebebasan di siang hari,” kata Hyunrae balik sambil tertawa.

Taeil menatap Hyunrae dengan wajah heran sejenak sebelum tersenyum kecil. Ia bisa merasakan tangan Hyunrae menarik pergelangan tangan Taeil dengan ringan, tanpa beban.

-=-

Hyunrae dan Taeil menghabiskan waktu di sebuah café outdoor, menikmati cahaya matahari sembari menghabiskan es krim di atas meja. Siang hari adalah waktu yang tepat untuk menikmati hidangan dingin. Taeil jarang sekali merasakan es krim mencair di mulutnya karena negaranya adalah negara malam.

“Mohon tandatangan di sini, Nona Sun Hyunrae,” ujar seorang pelayan seraya memberikan bukti transaksi. “Nona punya nama yang sama dengan putri presiden yang akan menikah besok,” tambah pelayan itu sambil tersenyum. “Tapi Nona sudah pasti bukan putri presiden itu, ‘kan?”

“Tentu saja bukan,” kata Hyunrae, tersenyum tipis seraya membubuhkan tandatangan di bukti pembayaran tersebut. “Aku yakin wanita itu sedang berada di Istana Presiden, menyiapkan hari esok.”

Pelayan tersebut mengangguk setuju dan membereskan meja. Setelah pelayan itu berlalu, Taeil memanggil Hyunrae dengan wajah penasaran.

“Besok putri presiden akan menikah?” Taeil bertanya.

“Ya,” balas Hyunrae tanpa ekspresi.

“Kenapa kau tidak terlihat senang akan pernikahan putri presiden?” Taeil bertanya heran. “Apa kau… jangan-jangan…”

“Apa?” Hyunrae memotong cepat, merasa khawatir.

“Jangan-jangan kau menyukai calon suami putri presiden itu,” sambung Taeil sambil tertawa. “Tapi tidak mungkin, ‘kan? Mana mungkin rakyat biasa sepertimu menyukai seorang calon suami putri presiden. Kau hanya rakyat biasa.”

“Tidak lucu,” kata Hyunrae separuh mendesis. “Sudahlah, apa lagi yang kau inginkan? Aku bisa membawamu ke semua tempat yang kau mau.”

“Sungguh?” Taeil tersenyum cerah. “Aku mau lihat pantai. Katanya, pantai di sini sangat indah. Banyak orang berjemur di bawah matahari. Benarkah itu?”

“Benar,” angguk Hyunrae. “Kau ingin melihat pantai? Ayo, kita ke sana.”

-=-

Hyunrae mengajak Taeil melihat salah satu pantai terindah di negara itu. Sinar matahari menyinari lautan dan pasir, menghangatkan semua orang yang menghabiskan waktu di sana. Ada beberapa turis tengah berjemur, anak-anak bermain pasir dan membuat istana pasir, serta beberapa orang menikmati minuman dingin atau es krim.

“Ini… indah sekali…,” bisik Taeil tanpa sadar.

Taeil berdiri di tepi pantai. Ia melepas sepatunya, hendak merasakan ombak secara langsung di kakinya. Dingin langsung membuat Taeil menggigil kecil. Tawanya lepas ketika ombak itu berlari mengejar dirinya.

“Kau senang?” Hyunrae bertanya.

“Sangat,” balas Taeil diiringi senyuman. “Aku sangat… bahagia, Hyunrae.”

Hyunrae, tanpa sadar, tersenyum kecil ketika melihat tawa bahagia Taeil. Ia tidak menolak ketika Taeil menarik tangannya, mengajaknya berlari menghindari ombak. Sesekali, mereka tertawa lepas, berteriak ketika ombak membasahi kaki mereka. Setelah lelah, keduanya hanya bisa duduk di tepi pantai yang kering dan menatap lautan.

“Ini… hari terindah dalam hidupku,” kata Hyunrae tiba-tiba.

Taeil, yang duduk di sampingnya, menoleh dan menatap Hyunrae heran. Cahaya matahari yang berwarna emas menyorot wajah cantik Hyunrae, membuatnya berkilauan.

“Kenapa?”

“Karena aku bertemu denganmu.”

Hyunrae menyandarkan kepalanya ke bahu Taeil. Angin meniup rambut panjang Hyunrae, membuat helaiannya berkibar. Mereka memejamkan mata, menikmati hembusan angin untuk beberapa menit. Tak lama kemudian, Hyunrae memegang tangan Taeil dengan lembut.

“Aku punya hadiah untukmu,” kata Hyunrae.

Ia mengeluarkan gelang kain berwarna merah yang dibelinya di Pasar Rakyat Svetlý tadi. Dipakaikannya gelang itu di tangan Taeil. Hyunrae tersenyum puas sesudahnya dan menjulurkan tangannya sendiri yang memakai gelang serupa. Bedanya, gelang Hyunrae berwarna biru.

Couple,” bisik Taeil senang.

“Kita,” jawab Hyunrae setuju.

Sayangnya, senyum di wajah Hyunrae tidak bertahan lama. Ia menatap sesosok laki-laki di belakang Taeil, tengah berlari ke arah mereka dengan wajah serius. Hyunrae mengenali sosok itu dan buru-buru berdiri. Tak lupa, ia menarik Taeil agar ikut berdiri juga.

“Kita pergi dari sini, Taeil,” kata Hyunrae cepat. “Ayo, kita harus pergi.”

Taeil menatap Hyunrae bingung. Wajah Hyunrae begitu panik dan ketakutan. Mereka berlari, menjauh dari pantai dan hendak keluar dari sana. Tapi, belum sempat melakukan apa-apa, mereka dihadang oleh beberapa orang dengan pakaian seragam.

“Nona Muda, apa yang Anda lakukan di sini?! Besok adalah hari pernikahan Anda, Nona Muda. Seharusnya Anda di Istana Presiden saat ini,” ujar salah satu orang yang menghadang mereka.

“Aku akan kembali ke Istana Presiden nanti, Raymond,” jawab Hyunrae keras.

“Istana Presiden?” Taeil berbisik tak percaya.

“Anda harus kembali, Nona Muda. Tuan Presiden mencari Anda,” ujar Raymond lagi.

“Sun Hyunrae adalah putri presiden yang akan menikah itu?” Taeil berbisik.

“Tangkap orang yang bersama Nona Muda,” kata Raymond tiba-tiba, memberi perintah pada anak buahnya untuk menangkap Taeil.

“Tidak! Apa-apaan ini?! Lepaskan temanku!” Hyunrae berseru.

“Teman Anda ini penyusup dari Negara Nočné. Dia menggunakan identitas palsu untuk masuk ke sini, Nona Muda. Kami harus membawanya pada Tuan Presiden untuk diadili.”

“Lepaskan temanku, Raymond.”

Raymond tidak menghiraukan ucapan Hyunrae. Ia dan anak buahnya segera menahan Taeil tanpa basa-basi. Tiba-tiba, Taeil terbatuk beberapa kali dan nyaris terjatuh ke pasir. Anak buah Raymond menahan tubuh Taeil, memaksanya berdiri.

“Lepaskan dia, Raymond,” ujar sebuah suara tiba-tiba.

Semua orang menoleh pada suara itu. Dari arah lain, seorang pria paruh baya muncul bersama pengawal-pengawalnya. Langsung saja, Raymond dan para anak buahnya menunduk hormat.

“Tuan Presiden, apa yang Anda lakukan di sini?” Raymond bertanya sambil menunduk.

Saat itu pula, Taeil jatuh berlutut di pasir sembari memegangi dadanya. Tubuh Taeil melemah seiring dengan sinar matahari yang semakin menyilaukan. Seseorang yang lahir di Negara Nočné mempunyai stuktur tubuh yang berbeda karena tidak pernah merasakan sinar matahari sejak lahir. Jika saja Taeil mengetahui hal itu sebelumnya, ia tidak akan melakukan perjalanan ini. Tidak mungkin seorang pewaris tahta seperti dirinya mati di negara orang dengan cara tak terhormat.

“Ayah?” Hyunrae berbisik pelan. “Ayah! Tolonglah,” desah Hyunrae pelan. “Biarkan Taeil kembali ke negaranya. Aku berjanji, aku menikah dengan laki-laki yang Ayah pilihkan besok. Aku janji, Ayah. Tapi selamatkan Taeil. Dia sekarat. Dia tidak boleh ada di sini.”

Tuan Presiden menatap Taeil yang masih terbatuk-batuk. Ia menghela napas pelan dan meminta Raymond membantu Taeil untuk berdiri lagi.

“Anak itu adalah pewaris tahta Negara Nočné. Jika terjadi sesuatu padanya, perang tidak dapat dihindari lagi. Kita pulangkan dia segera,” ujar Tuan Presiden. “Dan Sun Hyunrae, kau akan menerima hukuman setelah ini. Kau tidak boleh keluar rumah sampai acara pernikahanmu besok.”

Taeil menatap Hyunrae tidak percaya. Demi seseorang yang baru Hyunrae temui hari itu, ia sudah bisa mengorbankan kebebasannya sendiri. Ketika matanya dan mata Hyunrae bertemu, Taeil merasakan perih yang luar biasa di sekujur tubuhnya.

“Maafkan aku,” ujar Hyunrae pelan.

Dalam hitungan detik, Hyunrae berlari dan memeluk Taeil sembari menangis. Ia menatap Taeil selama yang ia bisa, mencoba mengingat wajah Taeil supaya ia tak melupakan Taeil sampai akhir hidupnya. Ini pertemuan yang singkat, dan Hyunrae takut ia akan melupakan Taeil suatu hari nanti.

“Terima kasih, Hyunrae,” bisik Taeil sepelan mungkin.

“Sama-sama.”

-=-

Negara Nočné

Esoknya, Taeil menatap kosong pada siaran berita internasional di hadapannya. Putri presiden negara tetangga, Sun Hyunrae, menikah dengan seorang anak pejabat yang sebanding dan serasi dengannya. Hati Taeil hancur melihat wajah Hyunrae di televisi. Tawa Hyunrae begitu palsu dan tidak bahagia di mata Taeil. Hanya Taeil yang bisa membuat Hyunrae bahagia. Begitu pula sebaliknya.

“Aku sudah pernah melihat matahari. Kau akan selalu menjadi matahari yang bercahaya dalam hidupku, Sun Hyunrae. Aku selalu mencintaimu.”

Gelang di tangan Taeil adalah satu-satunya kenangan yang tersisa tentang Hyunrae sampai akhir hayatnya. Ia berharap, sampai akhir hayatnya, ia tidak akan melupakan Hyunrae, mataharinya.

-=-

Korea Selatan

Matahari hampir terbenam di kala senja adalah pemandangan favorit Jaehyun. Laki-laki itu akan menghabiskan waktu detik-detik itu di balkon kamarnya, memandang langit dan matahari yang perlahan-lahan turun menuju garis batas cakrawala.

“Paman, kenapa Paman sangat suka melihat matahari terbenam?”

Jaehyun menoleh, menyadari seorang anak perempuan berdiri heran di sampingnya. Dengan ringan, Jaehyun mengangkat tubuh keponakannya itu dan menggendongnya di bahu.

“Kau ingin dengar cerita, Yoo?” Jaehyun bertanya.

“Ya, Paman.”

“Begini, Yoo. Dahulu, ada dua negara yang tidak akur, yakni Negara Svetlý dan Negara Nočné. Negara Svetlý adalah negara siang, dan Negara Nočné adalah negara malam. Pangeran Moon Taeil dari keluarga Raja Nočné jatuh cinta kepada putri Presiden Negara Svetlý yang bernama Sun Hyunrae. Namun, cinta mereka terhalang oleh keadaan.”

“Jadi, ibaratnya siang dan malam saling jatuh cinta. Begitu, ya?” Yoo, perempuan kecil itu, bertanya dengan jeli. “Karena siang dan malam tidak mungkin bersama, jadi Pangeran Taeil dan Hyunrae tidak bisa bersama.”

“Benar, Yoo. Jika siang dan malam menjadi satu, dunia akan kiamat. Mereka ada di langit yang sama, tetapi tidak bisa bersama,” jawab Jaehyun kemudian. “Tetapi, Yoo, siang dan malam bisa menjadi satu di satu waktu tiap harinya.

“Sungguh?” Yoo bertanya penasaran. “Bagaimana mungkin, Paman?”

Jaehyun menatap matahari yang masih bergerak menuju garis batas cakrawala. Detik-detik itu begitu mengagumkan bagi seorang Jaehyun. Warna jingga dan biru tua menyatu jadi satu, seperti bahagia dan kesedihan yang berbaur di langit.

“Senja, Yoo. Senja adalah ketika matahari dan bulan ada di langit yang sama. Senja adalah ketika siang dan malam menjadi satu, sebuah keajaiban yang tidak bisa dihindari tiap harinya. Hanya ada beberapa menit bagi mereka untuk bersama.”

Malam datang tak lama kemudian, menggantikan siang yang sudah usai. Jaehyun menemani Yoo ke arah kamar, membiarkan anak itu tiduran di kasur sambil memejamkan mata. Sebentar lagi, saat Yoo tertidur, tugas Jaehyun sudah selesai. Ia keluar perlahan dari kamar Yoo setelah Yoo lelap. Ketika melewati ruang tamu, mata Jaehyun menatap pajangan foto di tembok.

“Selamat malam untuk kalian,” kata Jaehyun pelan.

Ada seorang laki-laki yang wajahnya mirip dengan Yoo di foto itu, tengah merangkul seorang perempuan dengan begitu mesra. Mereka tertawa bahagia, memandang kamera dengan wajah ceria.

“Taeil Hyung,” kata Jaehyun pelan pada foto tersebut. “Kadang aku masih suka bertanya-tanya, bagaimana bisa Hyung jatuh cinta pada Hyunrae Nuna. Jelas-jelas, Hyunrae Nuna adalah anak angkat paman kita,” ujar Jaehyun lagi. “Seandainya waktu itu kalian tidak kabur dari rumah Kakek, mungkin kalian masih ada di sini sekarang bersama aku dan Yoo.”

Jaehyun menghela napas lemah. Matanya berkaca-kaca menatap satu demi satu foto yang ada di dinding ruang tamu. Hanya ada foto dirinya bersama Yoo, mulai dari Yoo kecil hingga saat ini.

“Kalau kecelakaan itu tidak terjadi, kita akan hidup berempat di sini, Hyung. Kau, Hyunrae Nuna, aku, dan Yoo, anak kalian,” bisik Jaehyun. “Kenapa kalian sangat menyedihkan? Kalian ada di bawah langit yang sama, tetapi tidak bisa bersama.”

-End-

3 thoughts on “[Oneshot] Under the Same Sky

Feedback Juseyo ^^