[NCTFFI Freelance] Zodiac Love Story #Pisces (Series)

pisces

Zodiak Love Story

 #Pisces

.

Author :: Rijiyo

Cast :: [NCT’s] Ten Chittapon as Ten & [OC’s]    Pameela Lee

Sub Cast : [NCT’s] Nakamoto Yuta, [NCT’s] Seo Johnny, [NCT’s] Kim Do Young, [NCT’s] Ji Han Sol, [NCT’s] Lee Tae Yong

Genre :: Comedy, Romance

Length :: Oneshot

Rating :: Teen

.

“….Want a love story like in the novel? Pisces expert in that.” – Piscesan

.

Ten benci kalau orang-orang selalu menyangkut-pautkan cinta dengan umur.

Ten benci kalau orang-orang menganggapnya anak kecil dan menertawakannya yang memacari seorang ‘Noona’.

Ten benci dengan orang-orang yang punya pemikiran sempit seperti itu.

Ten punya seorang pacar bernama Pameela Lee yang lebih tua dua tahun darinya. Pameela itu cewek (yeah, tentu saja) dengan rambut panjang dan mata agak bulat. Menurut Ten, cinta itu tidak memandang umur. Kalau mereka sudah jodoh, meskipun jarak usia sampai tiga puluh tahun pun tidak masalah.

“Ten! Aku bawa bekal, nih!” Pameela suka datang ke sekolah Ten meskipun hanya sekedar untuk membawakan bekal seperti sekarang. Awalnya cowok itu sangat malu karena teman-temannya suka mengoloknya dengan bilang kalau Ten itu dewasa sebelum waktunya. Tapi, toh, Ten sudah berusia sembilan belas tahun, dan bukankah dia sudah cukup dewasa untuk berpacaran dengan seorang gadis yang lebih tua dua tahun darinya? Apa salahnya punya pacar yang lebih tua? Yang penting mereka harus saling mencintai dengan tulus, kan?

“Wah, kak Ela bawa apa?”

“Ada kroket daging dan sandwich. Habisin, ya? Jangan lupa bagikan juga pada temanmu,” ucap Pameela sambil mengacak-acak rambut pacarnya. Sebenanya Ten agak kesal karena terkadang Pameela tidak menganggapnya sebagai pacar, melainkan adik. Ten senang sih di perlakukan dengan manis seperti ini. Tapi kalau terus-terusan, siapa yang tidak muak? Ten pun sudah sering bilang pada Pameela supaya berhenti memperlakukannya seperti anak kecil. Namun Pameela masih keras kepala dan jika ditanyai alasannya mengapa, gadis itu selalu menjawab kalau ia merasa sangat nyaman saat harus memperlakukan Ten seperti ini.

“Habisnya kamu imut, sih. Mark aja kalah imut (untuk ini, Pameela bohong).”

“Ih, kak Ela apaan, sih.” Ten salah tingkah sendiri.

Nah, jadi mau bagaimana lagi?

Ten paling tidak bisa berdebat dengan pacarnya itu.

Yuta pun berkali-kali tanya bagaimana Ten bisa mendapatkan Noona-noona seperti Pameela.

“Rahasia.” Itulah jawaban yang selalu dilontarkan Ten yang serta-merta membuat Yuta naik pitam karena menganggap kalau temannya ini pelit ilmu.

 “Thanks, Kak. Oh iya, kamu nggak kuliah?” tanya Ten sambil menatap pacarnya di depan gerbang.

Pameela tersenyum manis. “Hari ini aku libur.”

“Serius?”

“Iya, dong. Kan capek kalau kuliah terus. Kamu senang, ya?”

“Banget.” Ten tersenyum lebar. “Biasanya kamu cuma ngurusin kuliah sampai lupa nggak perhatiin aku.”

Pameela tertawa cukup lebar yang membuat Ten ikutan tertawa. “Nggak gitu juga, kali. Aku kan sayang sama kamu.”

“Kak Ela apaan sih, ah,” ucap Ten dengan wajah memerah. Kalau Pameela sudah merayu, Ten jadi suka alay.

Setelah perbincangan ringan itu, Pameela pun akhirnya berpamitan pulang. Ten melambaikan tangan pada mobil gadis itu yang semakin menjauh sambil membawa tas bekalnya. Kemudian, Ten berjalan menuju kelas sambil sesekali membuka bekal di dalam kotak itu dengan perasaan paling bahagia sedunia. Tiba-tiba Yuta, Hansol, Doyoung, dan Johnny menghampirinya dengan tatapan tertarik. Tanpa meminta ijin, Doyoung dan Yuta melahap beberapa kroket daging itu yang serta-merta membuat Ten berteriak tidak suka. Hansol juga mengambil sandwich-nya dan membagi dua dengan Johnny.

What the fuck, guys! Jangan dihabisin, dong! Ntar aku makan apaan?!” Ten berteriak dramatis sambil memandangi kotak bekalnya yang hanya menyisakan satu kroket daging.

“Kamu nggak boleh makan banyak-banyak biar nggak gendut,” ucap Yuta sambil mengunyah sandwich seperti bocah lima tahun.

“Nyebelin banget, sih! Awas, ya! Kalau sampai kak Ela bawain bekal lagi, bakal kuumpetin dari kalian.”

Setelah berkata seperti itu, yang terdengar hanyalah ledakan tawa yang membuat Ten serasa ingin menelan keempat sahabatnya ini.

.

.

.

Sore ini—karena Mamanya sedang pergi—Ten pun menonton film porno di kamarnya. Keringatnya menetes dari pelipis menuju dagu ketika menonton video mengerikan itu. Jantungnya berdetak tak keruan menyaksikan dua pasang kekasih yang sedang melakukan perbuatan biadab tanpa rasa malu. Ten menelan ludahnya berkali-kali. Terkadang pun dirinya sering berpikir apakah dia bisa melakukan hal itu dengan Pameela. Tapi, tidak mungkin. Pacarnya itu bukan tipe gadis sembarangan. Tahu betul Ten harus jatuh-bangun dulu demi mendapatkan hatinya Pameela. Gosh, dulu Pameela itu galaknya bukan main. Belum lagi protes dari Lauren dan Mark. Kedua adik Pameela itu bahkan ngomporin Ten dengan bilang kalau Ten itu seperti cabe-cabean, playboy, suka ngupil, alay, dan lain-lain (ugh, itu kenangan buruk).

“Halo, Ten Chittapon!”

Brak! Ten langsung menutup laptopnya dengan keras karena mendengar suara Pameela yang terdengar tiba-tiba. Cowok itu mengusap keringat di dahinya. Kenapa Pameela bisa masuk? Kenapa Pameela tidak mengetuk pintu dulu? Apa dirinya terlalu fokus sampai-sampai tidak mendengar suara orang masuk ke rumahnya?

“Ten, kamu ngapain? Kok keringetan?” Pameela menghampiri Ten dan menatapnya dengan heran.

“Nggak apa-apa. Hehehehe,” ucap Ten sambil diam-diam menyingkirkan laptopnya.

Ternyata Pameela tidak sebodoh itu. Dia menyahut laptop yang akan disembunyikan Ten dengan wajah penasaran. Pameela pun membukanya. Tapi terkunci. “Ten, apa passwordnya?”

Ten menggeleng dengan polos. “Kata Yuta, aku nggak boleh ngasih tau passwordnya.”

Pameela memasang tatapan seperti anak kucing yang membuat Ten tidak bisa berkutik. “Kamu lebih sayang Yuta, ya?”

Ten menggeleng dengan cepat. “Aku sayang kak Ela. Aku nggak sayang Yuta, aku bukan cowok yaoi.”

“Kalau gitu, kasih tau passwordnya.”

Ten terdiam sejenak. Haruskah ia mengatakannya? Video itu… video itu adalah segalanya baginya—dan bagi Yuta. Video itulah yang membuat Ten tidur nyenyak. Video itulah yang bisa membuat Ten berimajinasi di siang bolong. Duh, pokoknya penting.

“Yutamanis123,” jawab Ten dengan menundukan wajahnya. Pria itu meminta maaf berkali-kali karena telah mengkhianati Yuta dengan memberitahukan password pribadinya.

“Apa-apaan ini?!” Pameela berteriak dengan wajah memerah ketika melihat betapa banyak video atau pun film biadab di laptop pacarnya. Dirinya benar-benar baru tahu kalau Ten yang selama ini di kenalnya polos dan pendiam itu ternyata juga bisa menyukai hal-hal seperti ini. Dengan bengis, Pameela pun menghapus semua file yang berhubungan dengan pornografi itu.

“Kak, please jangan dihapus semuanya. Yuta sudah bela-belain beli kuota buat download video itu.” Ten memeluk kaki Pameela yang duduk di kasur.

I don’t care, Dear.”

Tapi, Pameela adalah gadis yang tegas. Dia tidak akan luluh dengan sikap Ten yang polos itu lagi. Baginya, kepolosan Ten itu ternyata sangat menjebak. Setelah menghapus semua file itu, Pameela berjalan mengelilingi kamar Ten dengan teliti. Dirinya juga membuka-buka almari, bantal, bahkan mengorek-ngorek meja belajar pacanya.

“Kakak ngapain?”

“Mana yang lain?”

“Apanya?”

“Ya benda-benda yang lain. Kamu nggak mungkin cuma nyimpen video, kan?”

Snap! Seperti ada peluru sebesar buah semangka yang menembus jantungnya. Kok kak Ela tahu, sih? batin Ten.

“Aku… aku nggak punya, Kak.”

“Oh… jadi sekarang sudah berani bohong, ya?”

Ten terdiam.

“Mana yang lain, Ten?” kejar Pameela.

Ten mengela napas pasrah, lalu berjalan menuju belakang lukisan besar. Pameela benar-benar tidak menyangka kalau di balik lukisan itu ada sebuah almari kecil yang berisi banyak sekali majalah-majalah dewasa. Pameela menelan ludah. Bagaimana bisa Ten bertingkah sampai sejauh ini? Ten juga menyelundup di bawah kasurnya dan memberikan beberapa majalah dewasa lagi pada Pameela dengan wajah polos. Pameela jadi ingin memeluk dan menjitak Ten bersamaan.

“Ada lagi?”

Ten menggeleng.

“Beneran?”

Ten mengangguk.

“Anak pintar.” Pameela mengacak-acak rambut Ten dengan gemas. Gadis itu mengambil semua majalah dewasa itu dan berjalan keluar kamar. “Bakal kubakar benda-benda nista ini. Gara-garanya, otak pacarku jadi kotor.”

“Otakku nggak kotor, Kak. Aku cuma urutan ketiga,” pungkas Ten yang justru semakin menghancurkan segalanya.

What? Urutan ketiga itu kamu bilang ‘cuma’? Siapa urutan yang pertama dan kedua?” tanya Pameela dengan wajah yang kembali memerah karena otak pacarnya ini benar-benar sudah error.

“Yang pertama itu Yuta, setelah itu Doyoung, lalu aku,” jawab Ten dengan polos.

Pameela hanya menghela napas panjang, setelah itu mencium pipi Ten. “Habis ini, kamu nggak boleh peringkat-peringakatan lagi. Peringkat aja di sekolah, tapi nggak untuk ginian. Ngerti?”

Ten mengangguk lagi. Setelah itu Pameela bergegas pergi sambil membawa majalah biadab itu ke luar rumah. Ten memukul kepalanya berkali-kali, frustrasi. Ia mengumpat dalam bahasa Thailand yang hanya Tuhan, dirinya, dan orang tuanya yang tahu.

.

.

.

“Apa?! Kamu ngebiarin kak Ela hapus video porno yang kuberi? Juga majalah-majalah itu?!” Yuta berteriak di depan wajah Ten saat pria itu berkunjung ke rumahnya. Saat itu, Yuta sedang melakukan ‘ritual’ rutin dengan Doyoung, Johnny dan Hansol sambil menghadap laptop di kamarnya yang sempat di kunci. Ten beranggapan kalau Yuta pasti akan kecewa padanya karena membiarkan semua barang dan video itu dimusnahkan dengan mudah oleh Pameela.

“Padahal aku mau pinjemin majalah itu ke Taeil.” Hansol berkata dengan wajah yang seakan mau menangis.

“Habisnya, aku benar-benar nggak bisa ngapa-ngapain di depan kak Ela. Aku nggak mau dia marah,” bela Ten.

Johnny menepuk dahinya sendiri. “Kenapa sih kamu takut sama cewek? Lagian, kok bisa kamu nggak ngunci pintu kamar pas nonton video?”

“Kak Ela tuh serem kalau ngamuk beneran. Aku juga lupa ngunci pintu, soalnya kupikir nggak bakal ada yang dateng ke rumah,” kekeuh Ten.

“Ya tapi Ten, harusnya kamu tetap kunci pintu biar nggak ketahuan,” timpal Doyoung.

“Ya namanya juga orang lupa. Kamu sendiri kalau lupa, habis itu diomelin, gimana perasaan kamu!? Sakit, kan? Makanya kalau orang lupa tuh jangan diomelin. Lupa itu manusiawi, bro!” dumel Ten.

“Lho, kok jadi aku yang disalahin, sih?” gumam Doyoung.

Hansol mendorong kepala Ten dengan gemas. “Cowok kayak kamu tuh mending dimasukkin ke kadang kambing. Biar genah dikit otaknya.”

“Habisnya, ini semua gara-gara benda biadab itu.” Ten tetap bersikukuh.

“Kamu selalu menyebutnya benda biadab, tapi kamu sering nonton,” sahut Yuta.

Ten menunduk, seakan benar-benar menyesal. Dirinya duduk di pinggir ranjang Yuta dengan muka cemberut. Johnny merengek di samping televisi. “Terus sekarang gimana, guys?”

Yuta menghela napas panjang. “Ya aku kudu beli kuota lagi. Nanti ritual ini kuganti hari Sabtu, soalnya pas itu di rumahku lagi sepi. Gimana, setuju?”

Semuanya pun langsung mengangguk setuju, kecuali Ten. “Aku nggak mau. Aku sudah janji sama kak Ela kalau aku bakal lebih sayang sama dia daripada Yuta.”

Semua menepuk dahinya sendiri.

Lagi-lagi karena Pameela

.

.

.

Ten benci dengan hal ini. Ia cemburu setiap kali melihat pacarnya dekat dengan Lee Taeyong—teman Pameela di kampusnya yang terkenal kaya dan tampan. Terkadang, Pameela menceritakan tentang Taeyong padanya yang membuatnya langsung naik pitam. Ten benci dibanding-bandingkan dengan pria lain, terutama Taeyong.

Taeyong dan Pameela kenal dua minggu lalu. Mereka satu fakultas dan berada di kelas yang sama. Taeyong nampak sangat menarik karena ia adalah mahasiswi pindahan dari Oxford University. Taeyong juga dewasa dan sopan. Hal itu pula yang membuat Pameela tanpa sadar merasa nyaman. Gadis itu bahkan kini sering menghabiskan waktu dengan Taeyong, mereka juga sering pulang bersama. Ten bahkan sampai mengunjungi rumah Pameela karena pacarnya itu sudah hampir tiga hari tidak memberi kabar dan Ten yakin alasan di balik semua itu adalah Lee Taeyong.

Hari ini, Taeyong dan Pameela sedang berbincang-bincang di bangku yang ada di depan kelas.

“El?”

“Ya?”

“Kamu suka The Conjuring?”

“Suka,” jawab Pameela dengan antusias.

“Sudah nonton yang ke dua?”

“Belum. Kenapa?”

“Baguslah. Rencananya hari ini aku mau ngajak nonton The Conjuring 2.”

“Serius? Hari ini?”

Taeyong mengangguk. “Mau, kan? Kayaknya ceritanya bagus, soalnya gara-gara film itu kan Valak jadi nge-trend.”

Pameela berpikir. Dirinya adalah movie freak. Dan tidak bisa dipungkiri kalau ajakan Taeyong ini begitu menarik perhatiannya, apalagi The Conjuring 2 itu adalah film yang paling ingin ia tonton. Sebenarnya ia ingin menonton film itu dengan Ten, tapi apa daya karena Ten sangat penakut. Dan yang lebih membingungkan lagi adalah, hari ini dia punya janji untuk membantu mengerjakan tugas sekolah pacarnya itu.

“Kak, hari ini tugasku numpuk. Nanti main ke rumah, ya? Bantu aku menyelesaikannya, oke?”

“Oke. Nanti sepulang kuliah, aku bakal langsung ke sana.”

“Jangan lupa beliin jus pisang, ya?”

“Baik. Baik. Tunggu aku, oke?”

“Oke.”

Bahkan ia masih begitu ingat percakapan dengan Ten di telepon pagi tadi. Ia tidak mau mengecewakan Ten, tapi di lain sisi ia juga ingin memenuhi hasratnya untuk menonton film. Ah, Pameela harus memilih yang mana? Menonton film atau membantu Ten?

Menonton film atau membantu Ten?

Oke. Pameela memutuskan untuk menonton film. Nanti dirinya kan bisa beralasan pada Ten kalau hari ini dia ada kuliah malam mendadak. Ten pasti akan percaya. Masalah beres.

Setelah memberitahu Ten tentang kebohongannya, Pameela dan Taeyong pun pergi ke bioskop naik mobil. Saat menonton film itu, Pameela tak henti-hentinya menjerit ketakutan, dan jeritan itu seketika terinterupsi ketika ia merasakan ada sebuah jemari hangat yang menggenggam tangannya. Pameela menoleh dan mendapati dengan jelas kalau Taeyong sedang tersenyum padanya. Pameela sempat membalas senyuman itu sebelum akhirnya melepaskan genggaman Taeyong karena tiba-tiba bayangan Ten melintas di pikirannya.

Ketika film sudah usai, Taeyong juga sempat mengajak makan malam. Tapi Pameela menolaknya dengan alasan kalau dia sedang ada urusan mendadak. Taeyong mengantar Pameela sampai di halte bus karena gadis itu tidak mau diantar sampai rumah. Tentu saja, karena saat ini ia akan ke rumah Ten.

“El?”

“Ya?”

Taeyong tiba-tiba mencondongkan tubuhnya, lalu mencium pipi Pameela dengan lembut. “Selamat malam,” bisiknya.

Refleks, Pameela mendorong tubuh Taeyong hingga pria itu hampir terjungkal ke belakang. Ingin rasanya ia menampar Taeyong karena telah lancang menciumnya. Ia sebal karena bagaimana mungkin Taeyong berani menciumnya, sedangkan Ten yang berstatus pacarnya tidak pernah melakukan hal itu? Tak jauh dari sana, ternyata ada sepasang mata yang tak sengaja merekam kejadian ini.

“Maaf,” kata Taeyong sambil tersenyum kikuk.

“Nggak apa-apa. Tapi jangan diulangi, ya.”

“Iya.”

Mereka berdua berdiri di depan halte dengan canggung. Pameela menggerutu dalam hati sambil menyumpahi supir bus yang tidak datang-datang. Sudah pukul sembilan kurang lima belas menit. Dirinya sudah sangat terlambat. Ten pasti akan marah besar nantinya.

Setelah hampir sepuluh menit menunggu bus, akhirnya kendaraan itu muncul juga. Pameela segera naik tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal pada Taeyong dan—jujur—Taeyong agak kecewa dengan hal itu. Pameela duduk di kursi paling belakang, tak di sangka ia malah bertemu Doyoung.

“Kak Ela?”

“Kamu darimana, Doyoung? Kenapa malam-malam masih keluyuran?”

“Aku dari rumah Ten. Katanya kakak sedang ada kuliah malam, jadinya dia meneleponku buat membantunya mengerjakan PR,” jawab Doyoung dengan lugu. “Oh iya, omong-omong, siapa cowok berambut pirang itu, Kak?”

“Cowok yang mana?”

“Itu… yang tadi sama kakak di halte.”

Jantung Pameela sempat berhenti berdetak. Haruskah ia berbohong lagi?

 “Dia cuma teman sekampusku.”

“Oh….”

Setelah itu, Doyoung sudah tidak bertanya lagi.

.

.

.

Kemarin malam, saat Pameela berkunjung ke rumah Ten, ternyata pria itu sudah tidur. Terpaksa Pameela pulang ke rumahnya lagi dengan kecewa. Bahkan pagi ini Ten juga masih belum menghubunginya. Apa dia marah? Pameela jadi merasa bersalah karena telah membohonginya.

Drrtt…. Drtt….

Ponselnya bergetar. Nama Taeyong terpampang dengan jelas di layar. Pameela menghela napas sebal. “Ya, halo?”

“El, hari ini aku mau jemput kamu.”

“Nggak usah. Aku bawa mobil sendiri,” ucap Pameela.

“Yakin? Padahal nanti sore aku mau ngajak makan di restoran yang pernah kita omongin.”

“Anu….” Pameela berpikir sejenak. Ia akan menolak ajakan Taeyong kali ini karena lebih mementingkan  Ten. “Aku nggak bisa.”

“Tapi El—“

“Dengar, Taeyong. Nggak usah gganggu aku lagi soalnya aku sudah punya pacar, namanya Ten Chittapon.”

Pip.

Pameela menggerutu dalam hati setelah memutus sambungan telepon. Ia menghela napas panjang. Hidupnya terasa begitu rumit. Faktanya, Taeyong berhasil mencium pipinya dan hal itu selalu membuatnya sakit. Ten terlalu polos dan sangat mustahil bagi Pameela untuk mendapat perlakuan bak tuan puteri seperti yang telah dilakukan Taeyong selama ini. Karena saat bersama Ten, justru dirinyalah yang harus bersikap dewasa dan tegas, padahal jauh di lubuk hatinya ia ingin sekali punya pacar yang bisa memanjakannya seperti Taeyong. Hah, Pameela jadi heran. Kenapa dulu dia menerima Ten, ya?

.

.

.

“Ten! Aku punya berita hot! Tapi kamu harus tenang, ya!” Yuta tiba-tiba berlari dengan kencang menuju bangkunya saat Ten baru saja datang.

“Kayaknya kamu deh yang harus tenang,” kata Ten.

“Ini tentang kak Pameela.”

“Kenapa emangnya?” Ten menghentikan aktivitas menata bukunya ketika mendengar nama Pameela.

“Kemarin saat aku baru pulang kencan sama pacarku, aku lihat kak Ela dicium cowok berambut pirang di depan halte.”

Ten terdiam, lalu tertawa. “Ya nggak mungkin lah. Kamu salah lihat.”

“Enggak, dengerin aku. Aku nggak mungkin salah lihat. Kak Ela pakai baju biru dan cowok itu pakai jaket hijau tua. Aku sempat meneleponmu, tapi hape-mu nggak aktif.”

Ten masih tertawa. “Kamu pikir cuma kak Ela yang punya kaus itu?”

“Serius, Ten! Kamu kok nggak percaya sih sama sahabat sendiri? Aku emang sering bohong, tapi kali ini beneran! Sumpah!” raung Yuta.

Lalu, Doyoung datang. Ia menghampiri Ten yang masih tertawa. “Eh, Ten. Kemarin malam aku lihat kak Ela sama cowok di depan halte.”

Tawa Ten langsung terhenti.

“Kemarin aku juga sempat satu bus sama kak Ela pas baru pulang dari rumahmu. Tapi katanya sih mereka berdua cuma teman se-kampus,” jelas Doyoung.

Ten masih terdiam. Apakah yang dikatakan kedua sahabatnya ini benar? Pasti lelaki yang di maksud adalah Lee Taeyong. Tiba-tiba, Ten merasa kesal bukan main saat mengingat betapa berbinarnya Pameela menceritakan tentang Taeyong, betapa Pameela sangat membangga-banggakan pria itu. Ten ingin menangis dan tertawa. Apa selama ini Pameela merasa kurang nyaman dengannya karena tingkahnya yang seperti anak kecil? Apa selama ini Pameela merasa lelah karena harus terus mengalah dengan sifatnya yang kekanakan? Apa Pameela mulai bosan dengannya?

Tidak!

“Yuta, aku mau ke rumahmu,” dalih Ten sambil memasang tampang seperti anak kucing.

“Ngapain? Aku masih belum beli kuota.”

“Bukan tentang itu, bodoh. Ini tentang kak Pameela.”

“Boleh kami ikut?” Hansol dan Johnny tiba-tiba sudah bergabung dengan mereka. Ten hanya mengangguk lemah. Sebenarnya ini urusan pribadi. Ia hanya mau mendiskusikan hal ini dengan Yuta. Namun sahabatnya yang lain juga penting, jadi terpaksa kalau mereka semua ikut. Sekalian biar rumah Yuta jadi ramai.

.

.

.

“Sebenarnya kamu mau ngapain, sih? Tumben kamu main ke rumahku tanpa kuajak.” Yuta menaruh tasnya di atas meja belajar. Doyoung dan Johnny sudah tiduran di lantai kamar karena sangat lelah. Hansol sudah merebahkan dirinya di kasur kingsize empuk biru tua milik Yuta. Ten sendiri hanya berdiri di samping ranjang sambil memandang Yuta dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Aku mau kamu mengajariku.”

“Ngajari apa?”

“Nyium cewek.”

GUBRAK!

Mereka semua menepuk dahinya sendiri ketika mendengar perkataan Ten. Yuta membelalakan matanya sekaligus malu. Hansol langsung bangkit dengan ekspresi tertarik.

“Kok aku, sih?” tanya Yuta sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Kamu kan sering gonta-ganti pacar, otomatis kamu juga sering nyium cewek,” tutur Ten yang langsung mendapat ledakan tawa dari Doyoung, Hansol, dan Johnny.

Yuta menggosok-gosok tengkuknya dengan perasaan malu yang tak berkesudahan karena—yah—perkataan Ten itu memang ada benarnya. Tapi—sekali lagi—masa harus dirinya? Akhirnya, walaupun tidak pantas, Yuta pun membuang rasa malu itu dan menyanggupi permintaan sahabatnya yang paling payah ini.

Yuta menghampiri Ten, lalu menatap matanya. “Ten, bayangkan kalau aku ini kak Pameela. Langkah pertama adalah, kamu harus mencari kesempatan yang pas dan pastikan keadaan kalian sudah memungkinkan buat ciuman.”

Ten mengangguk antara paham dan tidak paham.

“Langkah kedua, lakukan kontak mata yang intim. Biarkan dia tahu kalau kamu pengin banget nyium bibirnya.”

Ten mengangguk lagi sambil menatap Yuta sesuai perintahnya.

“Dan yang ketiga, dekatkan wajahmu pelan-pelan. Kalau dia cuma diam atau malah menutup mata, itu berarti dia memang siap dicium.”

Ten menelan ludah. Cara yang terakhir ini justru sangat memicu adrenalinnya. Jantungnya berdentum tak keruan ketika ia menurunkan matanya untuk menatap bibir Yuta. Kalau yang ada di depannya adalah cewek, tentu itu tidak masalah. Namun, ini Nakamoto Yuta! Dan Yuta itu cowok! Ten masih normal dan ia mana mau mencium sesama jenis? Lama-lama Ten menyesal dengan keputusannya.

“Lakukan, Ten. Bayangkan kalau aku ini kak Pameela,” ulang Yuta.

Ten menelan ludah lagi, lalu mendekatkan wajahnya perlahan. Yuta juga menelan ludah dan berharap semoga Ten bisa melakukannya dengan benar dalam sekali praktek supaya dirinya tidak akan melakukan hal ini lagi dengannya. Hell! Mau ditaruh di mana muka Yuta kalau pacarnya tahu ia pernah melakukan ciuman dengan sesama cowok? Yuta menutup mata saat bibir Ten mulai mendekati bibirnya.

Doyoung, Hansol, dan Johnny menelan ludah dengan mata terbelalak. “Bayangkan kalau dia itu kak Pameela,” kata mereka berkali-kali.

Ten menekan tengkuk Yuta, seakan berusaha memperdalam ciumannya hingga mereka berdua terjatuh di kasur. Ten menindih Yuta dan hal itu seketika membuat Yuta membuka mata dan mendorong Ten hingga pria itu terpental ke lantai.

What the fuck, Man?! Ini cuma latihan, bodoh!” seru Yuta dengan napas tersengal-sengal dan wajah yang sangat memerah. “Ya Tuhan. Demi celana dalam Neptunus. Aku nggak bisa bayangin kalau Mamaku tahu hal ini.”

Ten mengusap bibirnya sambil tersenyum lugu. “Sorry. Aku terlalu menghayati.”

“Lagi, dong,” celetuk Doyoung yang yang serta-merta mendapat pukulan dari Hansol, Johnny, dan Yuta.

.

.

.

Malam ini, Ten berencana akan mengunjungi rumah Pameela (ugh, dia juga sudah siap mental kalau saja Mark dan Lauren ikutan ngomel). Pria itu memakai mantel biru tua dan topi hoodie milik Yuta yang tadi baru ia pinjam. Saat menatap pantulan wajahnya di cermin, Ten sempat memegang bibirnya yang tadi habis berciuman dengan Yuta. Setelah mengingat-ingat kejadian itu, Ten hanya bisa begidik ngeri. Dirinya bahkan bersumpah tidak akan meminta bantuan Yuta lagi. Lalu, tangannya beralih ke wajahnya yang putih dan bersih. Sambil sesekali berpose seksi, Ten meruntuk dalam hati kalau dirinya itu puluhan kali lebih tampan daripada Lee Taeyong.

Setelah berpamitan pada Mamanya, Ten pun ke luar rumah. Angin malam pada musim dingin ini rasanya seperti menampar pipinya berkali-kali. Sesudah merapatkan syal di leher, Ten memasukkan kedua tangannya di saku sambil berjalan menunduk. Ten memasuki area Hongdae yang itu berarti rumah Pameela sudah dekat. Ten lebih memilih untuk berjalan di pinggiran sungai sambil sesekali menatap orang yang lalu-lalang di kawasan ramai ini.

“Ten Chittapon?”

Ten mendongak. Di hadapannya tiba-tiba ada gadis cantik memakai jaket tebal berwarna cokelat, berambut panjang, bermata indah, dan memakai syal merah tua yang menutupi leher jenjangnya. Ten mengedipkan matanya beberapa kali sebelum berucap, “Kak Ela?”

“Kamu ngapain di sini?” Pameela mendekati Ten.

“Aku mau ke rumah  kakak,” jawab Ten dengan napas berasap.

“Beneran? Aku juga mau ke rumahmu,” pungkas Pameela, lalu memandang mata Ten. “Aku juga mau minta maaf.”

“Kenapa?”

“Masa kamu lupa? Soal aku sama Taeyong.”

Ten menelan ludah. “Nggak apa-apa.”

“Begini, Ten. Aku mau jujur sama kamu, semuanya.” Pameela menghela napas panjang, Ten hanya menatap mata pacarnya ini. “Kemarin saat kamu menyuruhku ke rumahmu, sebenarnya saat itu aku nggak ada kuliah malam. Saat itu aku sama Taeyong lagi nonton film. Terus Taeyong mengantarku sampai halte. Juga tentang ciuman itu—“

“Aku tahu. Aku tahu semuanya, Kak,” sela Ten buru-buru.

“Kamu tahu? Dari mana?”

“Dari mana aku tahu itu nggak penting.” Ten menelan ludah lagi. “Apa sekarang kakak mau minta putus? Aku tahu hubungan kita masih sebentar, aku juga tahu kalau kakak punya hak bilang putus. Aku nggak heran sih, soalnya aku sendiri juga ngerepotin.” Ten menunduk lesu.

Pameela tertegun sekaligus tidak percaya atas apa yang dikatakan laki-laki di hadapannya ini. Bagaimana bisa Ten berpikir sampai sejauh itu? Dirinya hanya akan minta maaf dan ia pikir masalah ini akan langsung selesai. Perkataan Ten benar-benar menusuk hatinya dengan sangat dalam. Padahal selama ini tidak ada kata ‘putus’ di pikiran Pameela meskipun tingkah Ten terkadang membuatnya kesal. Pameela tidak mungkin memutuskan orang yang sangat ia cintai, kan?

“Ten, bukan gitu maksudku. Kan aku sudah bilang kalau aku mau minta maaf. Kupikir kamu ngambek pas aku terlambat datang ke rumahmu. Aku juga sudah beliin jus pisang.” Pameela mengacung-acungkan sebuah kantong plastik di genggamannya yang ternyata berisi jus pisang.

“Aku sayang banget sama kakak. Aku sering takut kalau suatu saat nanti kakak berpaling. Apalagi… apalagi aku juga punya lebih banyak kekurangan kalau dibandingin kak Taeyong. Gara-gara itu, tadi aku habis latihan ciuman sama Yuta—”

“Hah? Latihan ciuman sama Yuta?” Pameela mengulangi perkataan Ten dengan muka memerah.

Ten membelalakan matanya, kemudian membekap mulutnya sendiri dengan perasaan sangat malu. Ya Tuhan, Ten Chittaphon Leechaiyapornkul keceplosan. Harga dirinya bisa saja hancur kalau Pameela tahu dirinya habis berciuman dengan Yuta tadi sore. Bagaimana kalau Pameela beranggapan kalau Ten itu sudah tidak normal? Oh tidak! Kenapa Ten selalu kelewat jujur kalau sudah berhadapan dengan Pameela Lee? Kenapa Ten selalu tampak lemah kalau sudah berdebat dengan Pameela Lee? Kenapa?

Akhirnya, untuk menutupi rasa malu, Ten pun menyahut kantong plastik di genggaman Pameela, lalu meminum seluruh jus pisangnya dalam beberapa tegukan. Pameela cukup kaget melihat tingkah Ten hingga kemudian dirinya dibuat semakin kaget saat pria itu mengatakan sesuatu yang membuat jantungnya serasa berhenti berdetak.

I love you, Kak.”

“Ini pertama kalinya kamu bilang gitu.” Pameela tersenyum, kemudian mengacak-acak rambut Ten dengan gemas. Dirinya sangat lega karena Ten sudah tidak marah.

“Aku sudah berusaha menyangkal diriku sendiri.” Ten menjelaskan kepada Pameela, tenggorokannya mulai menciut dan air mata mulai membakar bagian belakang matanya. “Tapi aku jatuh cinta sama kakak bahkan sebelum aku ngerti hal itu. Dengan kakak—setiap saat—begitu intens meskipun kakak cuma menatapku. Kak Ela memberiku perasaan tertentu yang nggak bisa kujelasin. Tapi itu begitu tiba-tiba dan kuat. Begitu luas dan dalam pada saat yang sama. Aku nggak pernah ngerasain hal itu sebelumnya dan nggak tidak terbiasa. Tapi mungkin, jauh di dalam sini (menunjuk hati), aku sudah tahu aku jatuh terlalu dalam dan aku nggak akan pernah bisa ngehapusnya.” Ten butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa ia bernapas dengan cepat. Ia dengan lembut mengusap lengan Pameela, matanya penuh kebijaksanaan. Ten menyelipkan rambut Pameela di belakang telinga. Mendadak wajah Pameela jadi bersemu. Cewek itu bahkan sampai tidak bisa mengenali kalau yang ada dihadapannya saat ini adalah Ten Si Anak Manja.

Pameela tersenyum lembut. “Kamu nggak perlu berubah, Ten. Karena, asal kamu tahu, aku sayang kamu apa adanya. Kamu juga nggak perlu latihan ciuman sama Yuta. Kalau mau, aku bisa kok nyium kamu.”

“Aku tahu.” Ten menyeringai nakal. “Itu karena aku nggak pernah nyium kakak, kan? Cemburu, ya?”

Pameela tertawa dan mendorongnya ringan.

C’mon, Kak, please,” Ten memohon, menghentakan kakinya di lantai seperti anak berusia sepuluh tahun. “Ayo ciuman.”

“Nggak inget ya kalau ini tempat umum?” jawab Pameela, tertawa. Kemudian, gadis itu melihat jauh ke dalam mata Ten dan berkata dengan sungguh-sungguh. “I love you too, Ten-ku yang paling ganteng.”

Ten langsung tersipu. Pameela berpaling darinya karena tahu kalau saat ini pipinya juga ikut terbakar.

Ten menutup jarak di antara mereka, ia meletakkan jarinya di bawah dagu Pameela dan mengangkat kepala gadis itu, hidung mereka hampir bersentuhan, dahi mereka menempel. “Bolehkah setiap detik aku bilang I love you? Biar kakak tahu kalau aku sayaaaaang banget sama kakak,” bisiknya, dengan ringan mengusapkan ujung hidungnya pada Pameela. Senyuman manis berhasil tersungging di pipi gadis itu.

“Demi Dewa!”

Mengikuti insting, mereka berdua saling menjauh dan Ten menoleh ke sumber suara. Pameela tersipu malu ketika mendapati eksistensi Johnny, Yuta, Hansol dan Doyoung tak jauh dari mereka di pinggir sungai. Entah sudah berapa lama mereka berempat berdiri di situ.

“Ngapain sih mereka?” ujar Ten setengah kesal. Pameela mendelik padanya dan berbalik kembali pada Yuta yang baru saja berseru. Pameela menggaruk bagian belakang lehernya dengan wajah memerah. Keempat cowok pengganggu itu hanya tersenyum penuh makna yang membuat Ten jadi ingin menyumpahi mereka.

“Halo semuanya.” Pameela menyambutnya dengan senyum lebar, mengabaikan fakta bahwa ia merona.

“Hai, kak Ela,” balas Johnny. “Maaf suara Yuta tadi nggak tau sikon. Tapi alangkah baiknya kalau kalian berdua ciuman di tempat lain.”

“Siapa yang ciuman? Masih ‘hampir’, kok.” Pameela menggaruk tengkuknya sambil terkekeh.

Pameela tersenyum riang dan begitu menular sehingga tidak mungkin bagi Ten untuk tidak membalas senyumannya.

Ketika mereka berjalan bersama dengan Yuta, Hansol, Johnny, dan Doyoung, sisi tangan mereka berdua menyerempet satu sama lain. Kemudian, Pameela merasakan Ten menyelipkan tangannya ke sela-sela jemarinya, dengan caranya yang tidak kentara, dan menggenggamnya dengan hangat saat mereka berjalan ke halte bus. Ten pikir, Pameela adalah jodoh dunia akhiratnya (ia yakin 1001 % atas hal itu). Karena menurutnya, kenyataan yang ia alami ternyata jauh lebih indah daripada mimpinya yang menginginkan kehidupan cinta seperti di novel—

—minus ciuman bibir dari Yuta.

.

.

.

_Fin_

A/N :

Holaaaaa ketemu lagi sama Jiyo 😀 Semoga gak bosen ya baca tulisan saya yang amburadul ini :v Dan sejak kapan Ten suka sama mbak-mbak?Titisannya Baekyun kah? *disambit Ten*

Sekian dan terima Jaemin ❤

(Btw, kenapa di sini kesannya aku nistain Ten banget, ya? HAHA)

10 thoughts on “[NCTFFI Freelance] Zodiac Love Story #Pisces (Series)

  1. yah padahal aku nungguin ciumannya ten ama pameela :v *plak* tapi ini seru banget loh! Tapi sejauh ini aku masih suka sama mark yg gak punya jam itu wkwk

    Liked by 1 person

Feedback Juseyo ^^