[NCTFFI Freelance] Zodiac Love Story #Capricorn (Series)

bbb

Zodiak Love Story

 #Capricorn

.

Author :: Rijiyo

Cast :: [NCT’s] Dong Si Cheng as Winwin & [OC’s] Illa Jung

Genre :: Romance, Comedy

Length :: Oneshoot

Rating :: Teen

.

“….Capricorn is not romantic. But deep down, he really love you.” – Capricornus

.

Banyak yang bilang Illa Jung adalah nama yang imut. Tapi, memang begitulah adanya, yah meskipun yang punya nama tidak begitu imut. Aku berumur sembilan belas tahun. Tidak, tidak! Aku tidak sedang membuat sebuah biodata untuk mendaftar kontak jodoh di situs internet. Please, aku masih punya harga diri—yah meskipun sudah hampir dua tahun aku menjomblo. Ugh. Tepatnya saat aku baru naik kelas satu SMA, saat itu Taeyong memutuskanku karena baginya aku sudah terlalu mainstream. Cih, apanya yang mainstream? Bukannya aku ini malah limited edition? Buktinya, mana ada orang yang mau membeberkan masa lalu pahitnya dengan senang hati selain aku?

Pukul 11 malam, aku terbangun oleh suara anjing tetangga yang menyebalkan hingga rasanya aku ingin mematahkan tubuhnya dan memakannya mentah-mentah—Nope. Tentu saja tidak. Makananku sangat berlevel. Dan daripada memikirkan anjing tetangga yang katanya baru kawin itu, aku lebih memilih untuk… err… yap, mungkin ini terdengar melankolis dan berlebihan, tapi ini adalah….

Curahan hatiku. Surprise!

Kamu tahu, terkadang kamu harus percaya bahwa makhluk bersayap dan punya nama Cupid itu tidak selamanya lucu, juga menggemaskan. Demi boneka Pororonya Doyoung, apa sih yang Tuhan pikirkan saat menciptakan makhluk yang terbang kesana kemari sambil membawa panah di punggungnya? Karena, asal kamu tahu, makhluk itu telah menancapkan panah beracun di bokongku dan entah kenapa tiba-tiba lelaki itu terlihat menarik. Mungkin tidak semenarik daging goreng buatan Yuta atau senyuman Kun, tapi dia… ah, aku benar-benar tidak tahu kenapa.

Damn it! Aku memang ingin jatuh cinta lagi karena sudah lama tidak merasakannya. Tapi… kenapa harus dengannya? Apalagi saat dia berjalan di hadapanku dengan tampang sok berwibawa, bahu yang sengaja diangkat-angkat, juga parfum aroma citrus yang paling kubenci sekejap tercium seperti aroma kue busuk yang pernah diberikan Johnny.

Aku jadi ingin menjambak rambutnya.

Dan memeluknya.

Oke, aku memang gila, kan? Hell! Dia adalah sainganku di kelas! Tuan Dong Si Cheng dan sepatu Ralph Lauren-nya adalah musuh terbesar sepanjang sejarahku, karena selain berhasil merebut peringkatku, dia juga merebut tempat dudukku dengan beralasan kalau dia murid baru. Awalnya sih aku masih toleran karena saat itu aku memang tidak masuk, tapi lama-kelamaan sikapanya bikin kesal juga. Akhirnya, aku pun terpaksa pindah di sebelah Hansol—ih, padahal dia kan tukang ngorok. Tapi mau bagaimana lagi? Sebagai ketua kelas yang baik, aku harus mengalah sama murid baru.

Tapi itu kejadian dua bulan yang lalu sebelum Cupid sialan itu sungguhan melesatkan panahnya.

Saat pemilihan wakil ketua kelas di karenakan Taeil yang mengundurkan diri, seluruh kelas dengan gamblangnya memilih dia. Kupikir saat itu mereka bercanda. Tapi melihat anak-anak yang begitu tersanjung padanya, membuatku semakin sirik. Aku yang tadinya sering beradu mulut dengan Taeil kalau sedang rapat pribadi, terpaksa sekarang harus berbicara dengan tembok karena Tuan Dong Si Cheng itu sangat pendiam.

Kupikir TUAN DONG SI CHENG adalah makhluk paling tidak waras, namun ternyata Cupid lebih tidak waras karena dia telah membuatku tergila-gila pada lelaki itu. Oh sial, aku labil. Dan hidupku seketika jadi rumit karena menemukan diriku yang positif menyukai TUAN DONG SI CHENG. Sungguh, hal ini membuatku frustrasi.

Tapi, aku akan berusaha tidak sampai jatuh cinta sungguhan padanya. Hell, aku tidak mau berpacaran dengan kulkas berjalan itu, oke?!

P.S: Cupid, tolong cabut panah sinting ini dari bokongku, sebelum aku sungguhan gila dan mulai mengkhayal  jadi pacarnya  DONG SI CHENG!

.

 

.

 

.

Pukul 07.00 di Kelas

 

“Hai! Selamat pagi semuanya!”

“Selamat pagi, Yuta! Jangan lupa bagikan nasi gorengmu padaku, ya! Hai, Ten! Wah, kenapa wajahmu begitu? Bertengkar lagi dengan pacarmu?”

“Oh iya, hari ini guru Lee tidak masuk. Tapi aku akan ke ruang guru untuk mengambil tugasnya.”

Hai! Inilah aku. Illa Jung yang selalu ceria datang pukul 7 tepat waktu. Dengan senyuman, seragam rapi, dasi terikat benar, dan mood baik yang—kata orang—selalu menular. Aku melangkah sebagai Illa Jung si ketua kelas bersahaja sekaligus si pembawa atmosfer baik, hingga temanku yang bernama Yeri terkadang bingung darimana aku mendapatkan semua tenaga itu. Padahal, sebenarnya aku jarang seperti ini kalau di rumah.

“Ayo mengambilnya denganku.”

Salah seorang yang duduk di mantan bangkuku berdiri. Aku terdiam sepersekian detik. Sialan, jantungku berdentum. Aku cepat-cepat menolaknya. “Tidak. Biar aku sendiri.”

“Tapi ketua kelas harus selalu bersama wakil,” kekeuhnya.

Dia masih keras kepala.

“Okelah. Ayo.”

Kami berdua berjalan sejajar di koridor. Seperti biasa, selalu tidak ada pembicaraan di antara kami. Dia benar-benar berkebalikan dengan Taeil yang suka mengajakku adu mulut. Akhirnya, aku pun memilih untuk menyanyi. Dan karena yang terngiang di otakku sekarang adalah Sistar 19 yang Ma Boy, aku pun mendengungkan lagu itu.

My boy… oh my boy, baby….”

 

Entah sebuah kebetulan atau Cupid lagi-lagi mengerjaiku. Hell! Aku tidak bermaksud menyanyikan part itu untuk seseorang di sebelahku, dan aku merasa, aku mungkin memang menyanyikan lagu itu untuknya. Ya Tuhan, aku labil lagi.

Lagipula kenapa ruang guru terasa jauh begini?

“Hei,” sapaku lebih dulu. Suaraku terdengar seperti burung gagak yang jelek.

“Hm?” balasnya singkat.

“Kamu yang ambil tugasnya, ya? Kutunggu di depan ruang guru.”

Aku membalas, “Kenapa tidak sama-sama?”

Masa setiap detik harus bersama-sama? Jangan mentang-mentang aku ketua kelas dan kamu wakilnya, kita bisa terus begini. Aku bisa semakin jatuh cinta padamu! Dasar Tuan Dong Si Cheng Tidak Peka!

Aku mengendikkan bahu. “Ya tidak apa-apa. Aku malas kalau ikutan masuk. Kenapa, sih? Tidak berani, ya?”

“Berani.”

“Omong-omong, kamu anak mana, sih? Aku kan tidak masuk saat kamu pertama pindah ke sini. Makanya kamu duduk di bangkuku karena kosong, kan?” Aku berusaha sok kenal sok dekat.

Tuan Dong Si Cheng berdeham. “Aku dari Zhejiang. Oh iya, apa saat itu aku sudah minta maaf?”

Sialan, kenapa harus minta maaf? Orang yang sok berwibawa seperti dia memangnya bisa mengucapkan hal itu?

“Ah, lupakan saja. Tidak apa-apa, kok. Um… apa aku boleh tanya lagi?”

“Boleh,” jawabnya tanpa menatapku.

“Kamu kan dari China. Kenapa pindah ke Korea? Apa karena roti bungeo-nya meledak?”

“Tidak.”

Dia juga tidak bisa diajak bercanda.

Kurasa lebih baik kami memang tidak saling bicara. Karena kalau kami sudah mengobrol… yah, jadinya malah absurd.

Sebenarnya aku masih tidak bisa melupakan kejadian itu, saat dia merebut bangkuku yang membuatku berakhir duduk di sebelahnya Hansol—dia masih suka ngorok. Bahkan saat jam pelajaran pun dia sering mendengkur sampai tak jarang para guru melempar kepalanya dengan spidol. Aku sih tidak keberatan, secara aku juga sering tidak nyaman dengan dengkurannya yang fals. Oke, lupakan soal Hansol.

Saat sudah sampai di ruang guru, Tuan Dong Si Cheng masuk ke ruangannya dengan langkah ringan. Aku melihat postur tubuhnya dari belakang. Kurasa bahunya tidak diangkat-angkat karena dia memang punya bahu yang kuat. Dia juga tinggi. Meskipun tidak tinggi-tinggi amat, tapi okelah. Hampir mendekati tipeku. Dia memiliki sepasang hidung yang pesek, kulitnya putih bersih, bermata kecil dan pipinya agak gemuk. Kalau tertawa giginya terlihat ada yang gingsul, hidungnya jadi tambah pesek, lalu pipinya yang agak kemerahan itu bakal semakin tumpah ruah di sana.

Memang sih, jika di bandingkan dengan kegantengan Taeyong, Kun atau mantan-mantanku yang lain, Tuan Dong Si Cheng sudah lima puluh lima persen kalah telak. Namun apalah arti kondisi fisik jika kamu sedang jatuh cinta. Bagiku, dia lelaki satu-satunya yang sangat-amat-kelewat-ganteng-banget!

Ya Tuhan, lagi-lagi aku labil.

Belum selesai aku melamun, dia sudah keluar dengan membawa puluhan buku paket dan aku menawarkan membawa separuhnya. Dia memberikan sepuluh buku padaku yang—entah karena aku belum sarapan atau apa—terasa sangat berat.

“Tidak kuat, ya? Sini deh, biar aku saja yang bawa kalau begitu,” tawarnya.

Aku menggeleng. “Tidak, kok. Nanti kamu capek kalau bawa semua.”

“Kamu ngegombal, ya?”

Aku memasang tampang tidak mengerti. Memangnya barusan aku menggombal, ya? Kurasa tidak. Aku mengatakan apa pun yang ada di kepalaku.

“Tidak. Aku kasihan saja kalau lihat kamu bawa dua puluh buku paket, sedangkan aku tidak membawa apa-apa. Tidak adil, kan?”

Tuan Dong Si Cheng tersenyum. “Ya, memang tidak adil. Tapi kalau kamu keberatan, tak masalah bilang tidak. Aku bisa bawa sendiri.”

Sialan! Jangan tersenyum seperti itu padaku!

 

“Dong Si Cheng—“

“Tunggu, tunggu. Jangan memanggilku begitu.”

Aku memiringkan kepala. “Kenapa? Bukankah nama itu bagus?”

“Sejak kecil, aku terbiasa dipanggil Winwin. Memanggilku Dong Si Cheng akan terdengar aneh.”

“Justru kalau aku memanggilmu Winwin, itu akan terdengar lebih aneh.” Aku terkekeh sambil menaiki lantai. Kelasku ada di lantai tiga dan itu sangat menyiksa. Ngomong-ngomong, dia unik juga. Masa anak sekharismatik dia panggilannya Winwin?

Lalu tak jauh dariku ada Kun. Ya ampun, Ya Tuhan… bagaimana ini? Apalagi dia sedang sendirian dan berjalan mendekat. Aduh. Aku gelagapan sendiri sampai Dong Si Cheng… um, maksudku, Winwin, memperhatikanku.

“Kenapa?”

Karena kedua tanganku membawa buku paket, aku menyuruh Winwin melakukan sesuatu. “Winwin, bisa tolong ambilkan cerminku?”

“Di mana?”

“Di sakuku.”

Ah, aku tidak boleh terlihat jelek di depan Kun. Setidaknya aku harus merapikan rambut atau memakai lipgloss. Yah, meskipun kami sudah jadi mantan tapi… entahlah, aku selalu ingin terlihat cantik di depan mantanku. Karena siapa tahu saja dia akan menyesal dan memintaku kembali. Itu adalah imajinasi konyolku dan kalian tidak boleh menirunya.

Bukannya langsung mengambil, Winwin malah diam. Dia menujuk sakuku yang ada di dada kanan. “Kamu yakin menyuruhku ambil di situ?” tanyanya, telinganya agak memerah.

Aku terdiam beberapa detik. Memangnya kenapa harus diyakinkan dulu? Maksudku, ini hanya mengambil cermin, kan? Dia hanya perlu memasukkan tangannya ke sakuku dan mengambil cermin kecil di dalamnya yang itu berarti dia kemungkinan besar bisa menyentuh daerah sensitifku. Aku langsung meneguk ludah. Pipiku merah padam. Aku malu. Merasa bodoh. Kendati aku tidak memikirkan malu itu, namun aku memikirkan penilaian Winwin padaku saat ini.

“M-maaf,” ujarku gugup.

Winwin mengangguk agak kaku. “Sini, biar kubawakan. Kamu ambil cerminmu sendiri. Lagipula untuk apa?” tanyanya kalem.

Aku memberikan buku itu pada Winwin dan dengan gesit mengambil cermin di saku. Aku segera merapikan poniku dan mengelus-elus pipiku. Setelah itu mengambil lipgloss di kantong blazer dan memoleskannya di bibir. “Ada mantanku. Aku tidak mau terlihat jelek,” jelasku.

Winwin terkekeh pelan. “Kata siapa?”

Aku menghentikan aktivitasku dan menoleh. “Hah?  Maksudnya?”

“Kamu nggak perlu dandan soalnya sudah cantik, Illa.”

 

Oke, terima kasih, Tuan Winwin. Lebih baik aku mati saja daripada mendengar pujian darimu.

.

 

.

 

.

Dua minggu berlalu. Kini aku semakin dekat dengan Winwin. Nggak dekat-dekat amat sih, tapi setidakanya aku sudah sering ngobrol dengannya. Dia lumayan lucu meskipun agak kaku. Kami juga sering ke perpustakaan bersama, entah untuk meminjam buku atau sekedar mengisi waktu luang. Tapi yang membuatku agak frustrasi saat di sampingnya adalah, dia sangat serius. Butuh jiwa humor seluas samudera kalau mau membuatnya tertawa.

Tapi anehnya, rasa sukaku semakin bertambah. Bahkan hari ini dia terlihat ganteng sekali dengan rambut klimis dan aroma citrus. Dia memakai sepatu Vans Classic dan jam Audemars Piguet yang kuyakini harganya tidak murah. Sumpah, gantengnya tidak main-main.

“Kamu beneran tidak tahu siapa itu Hobbit?” tanyaku saat ia tengah membaca buku sejarah dengan muka datarnya.

“Aku jarang nonton televisi. Aku juga bukan pecinta film.”

“Tidak harus pecinta film. Omong-omong, Hobbit itu sangat terkenal, loh. Mustahil kalau kamu tidak tahu.”

“Tidak. Aku tidak tahu,” jawabnya tanpa menoleh.

The Hunger Game? The Lord Of The Rings? Hex Hall?” desakku.

“Tidak tahu, Illa.” Dia menghembuskan napasnya. Mungkin berusaha bersabar meladeni kecerewetanku.

“Kamu kan suka baca buku, masa tidak tahu novel itu?”

“Aku tidak suka baca novel.”

“Apa setiap hari kamu hanya baca sejarah, rumus, dan pengetahuan umum? Matamu tidak juling setelah membacanya?”

“Dengar.” Dia menatapku lekat-lekat. “Aku tidak punya waktu membaca novel. Buku pelajaran jauh lebih penting.”

Hello! Ini sudah 2017 dan dia masih bertingkah kolot seperti ini? Dia bukan manusia tahun 40-an yang mengalami reinkarnasi, kan?

“Kamu nggak asik, ah,” dengusku sambil meraup buku dan pura-pura membacanya.

Dia akhirnya menoleh. Menatapku seakan bertanya apa maksudku. “Memangnya kamu mau aku ngapain?” pungkasnya kalem.

Aku menghembuskan napas kesal, tapi aku berusaha supaya tidak membentaknya. “Jujur ya, aku jenuh kalau ada di samping kamu seperti ini. Kamu orangnya terlalu serius sih, jadinya aku kesulitan mau ngapain. Aku pengin kita bisa ngobrol seru, sampai ketawa-tawa, memukul-mukul. Setidaknya, supaya kita bisa lebih dekat.”

Yeah! Sekalian modus! Kapan lagi aku bisa dapat perhatian intensnya Si Kulkas Berjalan ini?

“Terus kamu mau aku jadi kayak gitu?”

Sialan! Kenapa dia malah bertanya begitu? Lurus sekali pikirannya. Aku menelan ludah. “Tidak juga, sih. Tapi aku kan bosan kalau kita diam terus. Kamu juga jarang tersenyum kalau aku melawak.”

“Lho, memangnya kapan kamu melawak? Maaf, maaf. Aku tidak pernah menyadarinya. Habisnya, aku suka tidak paham selera humormu.”

Bukannya tidak paham, tapi memang kamunya yang tidak punya selera humor.

 

Sekali bicara, terdengar menyebalkan sekali. Bunuh aku sekarang! Bunuh aku!

“Ya sudah, deh. Aku ke kelas dulu. Kamu mau tetap di sini?” pamitku, agak marah juga, sih.

Winwin mengangguk. “Aku mau melanjutkan membaca.”

Aku mengangguk dan segera berderap ke luar perpustakaan. Saat aku mungkin sudah tiga langkah, Winwin memanggilku. Aku menoleh dengan bingung.

“Jangan pulang duluan. Nanti pulang bareng aku, oke?”

“Hah?”

“Kamu sering meninggalku di halte, jadinya aku pulang sendiri. Tapi hari ini kamu tidak boleh pulang duluan.”

“Hah?”

“Itu saja. Sana kembali ke kelas.”

Aku tidak mengerti. Sebenarnya, sifatnya itu seperti apa, sih?

.

 

.

 

.

“Beneran. Dia itu orangnya serius banget. Hidupnya memang terlalu lurus,” kataku menggebu-gebu. Masuk ke kelas tadi aku langsung curhat ke Yeri tentang Winwin. Sambil memakan daging goreng dari Yuta, aku terus melanjutkan curahan hati dramatisku. “Kamu tahu, dia bahkan tidak sadar kalau aku sedang melawak. Bayangkan itu. Bayangkan, Yeri. Tapi… tapi dia ganteng banget. Aku suka tidak kuat kalau melihat senyumannya, rasanya itu seperti… ah, seperti apa, ya? Aduh, pokoknya senang, deh.”

“Kudengar, dia juga lagi nganggur,” balas Yeri tak kalah antusiasnya.

Nganggur? Maksudmu?”

Yeri berdecak. “Nggak ada yang punya,” terangnya.

“Wah, kesempatanku jadi pacarnya semakin dekat, dong.”

Dari awal aku memang sudah yakin kalau Winwin jomblo. Memangnya siapa yang mau pacaran dengan lelaki dingin dan datar seperti dia? Yah, pengecualian untuk aku.

“Cepat katakan perasaanmu. Keburu dia ada yang ambil duluan,” bujuk Yeri.

“Tidak. Kurasa tidak secepat itu. Winwin pasti tidak akan langsung menanggapi perasaanku kalau aku mengatakannya sekarang.”

“Terus?”

Kesunyian menyapaku, disusul bahuku sedikit kuangkat.

“Yah, sepertinya dia suka cewek yang pintar dan pendiam. Bukan aku yang suka menyontek dan suka teriak-teriak. Kamu juga pernah bilang padaku kalau aku ini manusia tidak jelas, kan?”

“Astaga.” Yeri menepuk jidatnya. “Mau kupukul kepalamu pakai toa biar kamu bisa berpikir logis, hah? Saat itu kan aku hanya bercanda. Kalau kamu tidak jelas, mantanmu tidak akan mau sama kamu, tahu! Menurutku, mantanmu ganteng-ganteng, loh. Winwin juga lumayan cocok sama kamu, meskipun sifat kalian sangat berlawanan, sih. Tapi, toh, dia sendiri juga nggak ganteng-ganteng amat.”

“Nah, itu dia masalahnya. Apalagi tadi dia mengajakku pulang bareng.” Aku salah tingkah sendiri mengingat kejadian tadi di perpustakaan. “Eh, tapi, dia ganteng banget, kok. Ganteng. Banget.”

“Iya, fans beratnya Winwin. Melihat dia sedang ngupil pun kamu pasti juga bakal menganggapnya ganteng.”

Dan saat itu pula dia datang. Iya, Winwin datang. Panjang umur dia. Jantungku bergemuruh lagi.

“Buruan nyatain,” desak Yeri sambil menyikut lenganku.

“Aku harus nyatain? Sekarang?”

Aku tiba-tiba gugup. Yeri mendekatkan bibirnya ke telingaku. “Bilang saja padanya, Winwin, I love you, aku benar-benar jatuh cinta padamu, apalagi waktu kamu ngupil. Jadilah pacarku, oke?’, begitu.”

Aku menatap Yeri sarkastik. “Yeri, please, lebih baik aku mati daripada mengatakan hal itu.”

Tapi dia malah tertawa. “Itu lucu, tahu! Dia pasti langsung tertawa saat mendengarnya,” Lalu menambahkan. “kalau nggak, kamu bisa bilang begini, Winwin, mau nggak jadi pacarku? Walaupun aku bukan cewek imut dan kurang rajin, tapi sungguh, aku sebenarnya rajin kok, tapi tergantung mood, sih. Meski aku tidak begitu pintar, tapi aku bisa membuatmu bahagia. Aku masih bisa menciummu dengan normal saat pacaran nanti dan-

Tolol.

Aku menggeleng pasrah.

Percuma saja mengharapkan solusi dari teman yang memang asalnya sudah gila sehingga aku sendiri juga semakin gila. Yeri yang menyuruhku menyatakan perasaanku pada Winwin, namun kata-katanya sendiri sama sekali tidak membantuku, malah membuatku semakin pusing.

“Lupakan saja, Yeri,” kataku. “Winwin tidak akan mudah—“

Pembicaraanku terhenti ketika melihat eksistensi Dong Si Cheng yang tiba-tiba saja sudah berdiri di hadapanku dan Yeri. Kedua tangannya tenggelam di saku sementara kepalanya agak condong ke arahku sambil menarik kedua sudut bibirnya perlahan-lahan.

“Apa-apaan ini? Kudengar kalian baru saja menyebut namaku.”

 

Sialan! Aku gugup bukan main. Bagian bawah bibirku kugigit pelan. Pipiku kembali memanas. Jantungku serasa mau meledak lalu jatuh berceceran ke perut. Aku tak habis pikir apakah otakku masih bisa bekerja dengan normal begitu melihat iris kelabunya kini benar-benar memperhatikan bola mataku. Oke, dari semua yang aku katakan tadi sepertinya agak alay, tapi aku berusaha untuk membuatnya sedramatis mungkin.

“Winwin, Illa suka sama kamu.”

DYAR!

Bunyi halilintar seperti menerobos masuk ke kepalaku. Aku hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Aku melirik cewek di sebelahku sekilas dengan tatapan akan-kubunuh-kamu-nanti. Kim Yeri kurang ajar! Umpatan demi umpatan bergumul menjadi satu di tenggorokanku dan ingin rasanya segera kumuntahkan jika saja tidak ada Winwin yang perawakannya tetap normal seperti mayat.

“Illa suka lihat kamu senyum, Win.”

“Yeri.”

“Dia suka lihat wajah datar kamu. Dia juga suka sama bau kamu.”

“Yeri, please….”

“Dari seluruh penghuni kelas cuma dia satu-satunya yang suka padamu, di samping kamu juga nggak eksis banget, sih. Oh iya, dia juga suka lihat kamu ngupil.”

Oh my God! Kapan aku bilang begitu? Sialan! Kim Yeri sialan! Akan kubunuh anak itu! Awas, ya!

 

Bola mata Winwin hampir keluar. Baru kali ini aku melihatnya seperti itu. “Aku… ngupil?” tanyanya lirih.

“Yeri, stop!

“Apa pun yang kamu lakukan, Illa selalu suka. Dia benar-benar tulus mencintaimu, Winwin. Dia ragu karena dia takut tidak bisa menjadi tipemu. Dia mencintai kamu apa adanya. Meskipun dia sendiri merasa mungkin dia tidak pantas buat kamu karena kamu begitu sempurna di matanya. Dia sering bilang kalau kamu menyebalkan, membosankan, tapi dia juga tidak pernah lupa menambahkan kalau kamu itu ganteng dan rajin, dan, dan….”

Yeri berhenti.

Dan aku menyesal dia baru berhenti sekarang.

.

 

.

 

.

Saat bel pulang telah berbunyi, aku ke luar kelas lebih dulu. Aku menunggu Winwin di depan halte saja, sekalian biar nanti bisa langsung naik bus. Yeri sempat menggodaku, tapi aku hanya memasang tampang sok kesal jika mengingat kelakukannya tadi.

Winwin memang sangat menghargai waktu. Tak butuh waktu lama bagiku menunggunya datang. Aku tersenyum kikuk. Aduh, selain gugup, aku juga malu. Winwin pasti marah padaku jika mengingat insiden ngupil itu.

Ya, seperti biasanya, tak ada pembicaraan di antara kami hingga bus hijau yang membawa ke Apgujeong itu sudah nampak. Aku naik lebih dulu, lalu disusul Winwin. Kami duduk di kursi nomor dua yang kebetulan kosong. Saat bus sudah masuk daerah Wangsimni pun kami masih diam. Karena canggung, aku pun memulai terlebih dahulu.

“Winwin, soal tadi… maaf, ya,” kataku yang hampir mirip bergumam.

“Yang mana?”

“Yang ngupil.” Ugh, hancur sudah harga diriku.

“Tidak apa-apa, santai saja.”

“Ternyata kamu bisa santai, ya?” Aku mulai punya kekuatan untuk mencairkan suasana karena Winwin ternyata tidak marah.

“Sebenarnya aku agak tersinggung sih saat kamu bilang suka lihat aku ngupil. Tapi… serius, aku tidak pernah ngupil di sekolah.”

Entah di mana letak kelucuannya, aku tertawa terbahak-bahak hingga pak tua yang duduk di belakang memarahiku.

“Kamu itu sebenarnya lucu kalau mau terbuka. Coba deh bergaul, jangan cuma membaca buku terus,” pungkasku sambil memegangi perutku yang sakit sehabis tertawa.

“Memangnya aku seburuk itu?”

“Tidaklah. Kamu yang terbaik, kok.” Aku mengacungkan jempolku.

“Terima kasih, ya.”

“Untuk?”

“Tidak tahu. Pokoknya terima kasih.”

Aku langsung terdiam. Dia bertingkah aneh lagi.

“Oh iya, ternyata kamu benar. Membaca novel ada bagusnya juga, otakku rasanya segar.”

Aku tersenyum. “Apa kubilang.”

“Dan karena hal itu, aku jadi pengin ikutan menulis.”

“Oh iya? Judulnya?”

“Illa Jung.”

.

 

.

 

.

 

.

 

.

 

_Fin_

 

A/N : Hai hai semuanya, salam kenal :v *tebar duit*

 

Saya Rijiyo, panggil Jiyo aja biar kayak Jiyo Twice (itu Jihyo kali –“). Jiyo masih 00L, baru 17 taun :” Lega bercampur haru pas tahu FF nya Jiyo akhirnya bisa nongol di sini :” *mimisan

 

Mengenai FF Zodiak Love Story ini, sebenarnya saya juga nggak tau zodiaknya bang Winwin itu Capricorn apa bukan, saya cuma menyesuaikan karakter sama wajahnya aja HAHA. Jadi, karakter Winwin aku ambil dari artikel yang menjelaskan tentang karakteristik zodiak. Oh iya, dan lagi, cerita ini cuma bermaksud untuk menghibur (kalo nggak terhibur juga gak papa HAHA), bukan ramalan. Jadi jangan percaya kalo sifatnya orang Capricorn itu seperti ini. Percaya ramalan itu musrik J (Halah). Terus kemungkinan saya juga bakal selalu buat sudut pandang orang pertama, biar lebih personal aja gitu 😀

 

Jadi sekali lagi, zodiak tidak akan ditentukan tepat dengan tanggal lahir main cast-nya. Nanti seluruh anak-anak NCT bakalan kebagian part yang inshaallah bakalan saya selesaikan kurang lebih dua bulan, secara saya itu moody banget :v Oh iya, kalo mau nanya2 lagi, boleh kok hubungin di IG : @Siftabooo / Twitter : @Rijiyo/ FB : Ssshif Shifta (HAHA promosi). Jangan di WP, soalnya Jiyo jarang online wordpress :v

 

Semoga terhibur sama ceritanya ya J Mau ngasih kritk & saran juga boleh ^^

6 thoughts on “[NCTFFI Freelance] Zodiac Love Story #Capricorn (Series)

  1. ga papa kak, aku juga pernah bikin ff tentang tingkah anak NCT saat putus berdasar zodiak, bisa dibaca ya “After Broke Up Series” /MALAH PROMOSI /DUARRRR /DITENDANG
    Kyaaaaakk ini sooo ucul and kiyowooo anjayy si Yeri ember banget mulutnya. Diksinya lucu, kaya kakak punya gaya sendiri, apalah itu bawa cupid nembak panak di bokong hahahaha
    Illa itu kind of bego2 adorable, emang ga ada visualisasinya tapi aku bisa bayangin pasti dia anaknya tengil, berponi, rambutnya lurus, sama agak pendek /LAH NGACO
    sudah kak, aku tidak mau review karena ini keren banget… aku tunggu zodiak lainnya ^^

    Liked by 1 person

    • Haduh ff ku di komen kak Lel ❤ ❤ ❤ Duh ❤ ❤
      Iya si Illa emang kind of bego in the world, tapi aku sayang dia (lah?) Btw, kalo visualisasiku itu rambutnya panjang :v Tapi gak papalah ya, namanya juga manusia, pendapatnya beda2 HAHAHA (lah ngaco)

      Makasih sudah mampir ya 😀 Zodiak lainnya segera menyusul hehehe ❤ Lovyu kak Lel {}

      Like

  2. alo kak^^ ini kenapa ucul sekali typically winwin ya kalo di ff jadi kulkas-kulkas gans ngangenin minta ditimpuk gimana gitu :3 iya kalo fic pake sudut pandang orang pertama emang lebih nyaman bacanya, njel juga dulu suka bikin fic pov dan gaya nulisnya kayak gini, jadi kangen, hehe. terus itu namanya illa jadi keinget juniel plus lagunya masa wkwk dan itu astaga yeri lol banget yaampun emang nyai kesayangan kok sengklek gitu sih untung mark sayang /terus dibuang/

    terus lagi I see that Hex Hall is mentioned here huhu my beloved sophie berharap triloginya dilanjutin bikos itu seru banget u.u

    and last ada beberapa kata yang belum sesuai EBI, di luar bahasa slangnya ya macem menghembus/sekedar yang harusnya mengembus/sekadar /terus dd dibalang bikos jadi nazi dadakan/

    oke kak it’s such a great writing, keep it up 😀

    Liked by 1 person

    • Hai juga kanjel (hehehe, niruin gayanya author lain panggilnya gitu) Iya kak, JIyo juga lebih nyaman aja sama gaya bahasa kayak gitu apalagi kalo pake sudut pandang orang pertama, yah meskipun kekurangannya masih seubrek :v

      Eh, Jiyo juga suka Hex Hall, pokoknya buku yang kusebutin tadi yang Jiyo suka (gk nanya -_-) Iya, kangen sophie, Jenna, Cal, dan laen2 huhuhu T_T Tapi aku masih belum baca yang Spell Bound HAHA

      Waduh Jiyo juga direview~ Kan terharu dedek :’3 Oke, ntar Jiyo perbaiki lagi kekurangannya hehehe 🙂 Makasih kanjel ❤ ❤ ❤ *lempar Renjun*

      Like

Feedback Juseyo ^^